Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama dalamĀ webinarĀ Perayaan HUT Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ke-56, Jumat (27/8/2021).
JAKARTA, DDTCNews - Pajak penghasilan minimum atau alternative minimum tax (AMT) yang diusulkan pemerintah pada RUU KUP tidak akan serta merta dikenakan kepada wajib pajak yang melaporkan kerugian.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan pemerintah akan mengatur wajib pajak badan dengan kriteria tertentu yang dikecualikan dari ketentuan AMT. Pengecualian tersebut akan dituangkan ke dalam peraturan menteri keuangan (PMK).
"Nanti akan ada pengecualian misalnya belum berproduksi komersial, startup, atau yang mendapatkan fasilitas seperti tax holiday dan lain-lain karena itu sudah menjadi komitmen pemerintah," katanya, dikutip pada Minggu (29/8/2021).
Pemerintah mengusulkan AMT bertujuan agar pemerintah memiliki landasan hukum dalam memajaki korporasi-korporasi yang selama ini membukukan kerugian selama bertahun-tahun melalui berbagai bentuk modus penghindaran pajak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlah wajib pajak badan yang melaporkan kerugian terus meningkat. Pada 2012, sebanyak 8% dari total wajib pajak badan yang melaporkan kerugian pada SPT Tahunan. Pada 2019, jumlahnya bertambah menjadi 11%.
Lalu, total wajib pajak badan yang melaporkan kerugian selama 5 tahun berturut-turut bertambah dari 5.199 wajib pajak badan pada 2012 hingga 2016 menjadi 9.496 wajib pajak badan pada 2015 hingga 2019.
"Walaupun kami tidak berpretensi bahwa wajib pajak rugi itu selalu karena penghindaran pajak, kami tidak bisa menafikan ada skema penghindaran yang dipergunakan oleh banyak wajib pajak badan yang kemudian membuat mereka bisa mengatakan saya rugi dan tidak membayar PPh," ujar Yoga.
Dengan adanya AMT, wajib pajak badan yang melaporkan rugi atau wajib pajak badan dengan PPh badan sebesar kurang dari 1% penghasilan sebelum dikurangi biaya akan dikenai AMT atau PPh minimum sebesar 1% dari penghasilan bruto.
Pemerintah juga mengusulkan general anti avoidance rule (GAAR) dalam RUU KUP yang dapat memberikan kewenangan bagi DJP untuk membuat penetapan atas transaksi wajib pajak yang bertujuan mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan perpajakan. (rig)