HUKUM PAJAK

Wah, UU KUP Diperkarakan ke MK

Muhamad Wildan
Rabu, 19 Agustus 2020 | 13.41 WIB
Wah, UU KUP Diperkarakan ke MK

Ilustrasi. (Foto: Antara)

JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan pengujian atas Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 dari Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Permohonan ini diajukan perseorangan atas nama Taufik Surya Dharma yang menganggap Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Karena ini adalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon meyakini ini menjadi kewenangan Mahkamah untuk memeriksa dan mengadilinya," ujar kuasa hukum pemohon Heru Widodo dalam risalah sidang 23 Juni 2020, seperti dikutip Rabu (19/8/2020).

Pasal 2 ayat 6 dari UU KUP mengatur penghapusan nomor pokok wajib pajak (NPWP) oleh Dirjen Pajak. Dirjen Pajak dapat melakukan penghapusan NPWP apabila terdapat permohonan penghapusan NPWP oleh wajib pajak atau oleh ahli warisnya.

Syaratnya, yaitu wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif atau karena wajib pajak badan telah dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha.

NPWP dapat dihapuskan bila wajib pajak bentuk usaha tetap (BUT) menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia atau apabila Dirjen Pajak beranggapan perlu untuk menghapuskan NPWP dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif.

Adapun Pasal 32 ayat 2 mengatur mengenai wakil wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Pasal ini mengatur wakil wajib pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang.

Namun, ada perkecualian dalam kewajiban tersebut, yaitu apabila dapat dibuktikan dan dapat diyakinkan bahwa wakil wajib pajak benar-benar tidak mungkin dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang.

Berdasarkan risalah sidang, Taufik, mantan pengurus PT United Coal Indonesia (UCI) yang telah dijatuhkan pailit sejak 2017 merasa dirugikan atau secara potensial pasti dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya kedua pasal tersebut.

Dibacakan oleh Heru selaku kuasa hukum pemohon, norma Pasal 2 ayat 6 tidak memasukkan kondisi pailit sebagai salah satu sebab dihapusnya NPWP. Akibatnya, pemohon yang menjabat sebagai Direktur Utama PT UCI dibebani tanggung jawab menanggung pajak perseroan secara pribadi.

"Padahal pemohon dibebani tanggung jawab secara pribadi atas pajak perseroan yang sudah pailit hanya semata-mata karena NPWP pihak terkait UCI yang belum dihapus walaupun perusahaan sudah pailit," ujar Heru.

Pasal 32 ayat 2 juga dinilai bermasalah karena tidak membedakan kewajiban antara wakil perseorangan dan badan sehingga siapapun wakil wajib pajak dipukul pro rata untuk dibebani pertanggungjawaban secara pribadi dan/atau renteng atas pembayaran pajak yang diwakilinya.

Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP telah merugikan hak pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum. Heru menyatakan pemohon telah dicekal imigrasi berdasar permintaan Dirjen Pajak atas dasar permintaan pertanggungjawaban PT UCI yang telah berakhir sejak dijatuhkan pailit.

Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP juga dinilai merugikan hak pemohon untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum karena sejak PT UBI dinyatakan pailit, maka tidak terdapat lagi hubungan hukum yang membebani pemohon selaku pengurus.

Terakhir, Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP telah merugikan hak pemohon karena kedua pasal tersebut dijadikan dasar untuk pembebanan tunggakan pajak secara tanggung renteng sampai harta pribadi pemohon.

Karena itu, pemohon mengajukan petitum dengan amar mengabulkan permohonan seluruhnya, menyatakan Pasal 2 ayat 6 UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'penghapusan NPWP dilakukan oleh Dirjen Pajak, termasuk apabila wajib pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap',

Kemudian menyatakan Pasal 32 ayat 2 UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berekuatan hukum tetap'. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.