JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendorong Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) untuk mewaspadai risiko ketidakwajaran harga transaksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan turunannya.
Menurut auditor pemerintah, hingga 2024, Kementerian Keuangan masih belum memiliki peraturan khusus terkait dengan penghitungan harga dasar komoditas CPO yang menjadi landasan untuk mengenakan pajak penghasilan.
"Berdasarkan hasil analisis atas Renstra DJP 2020-2024, diketahui DJP belum proaktif merencanakan monev maupun perencanaan perumusan dan harmonisasi regulasi perpajakan untuk memitigasi risiko ketidakwajaran harga transaksi CPO dan produk turunannya," tulis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Perumusan dan Harmonisasi Regulasi Perpajakan dalam rangka Mendukung Optimalisasi Penerimaan Perpajakan 2020-2024, dikutip pada Kamis (18/12/2025).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, serta Direktorat Perpajakan I DJP, DJP diketahui melakukan pengawasan transaksi sektor perkebunan. Salah satunya dengan menguji kewajaran harga acuan produk kelapa sawit menggunakan data dari Kementerian Pertanian.
DJP juga berwenang menguji kepatuhan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) dalam hal wajib pajak pada sektor perkebunan memiliki transaksi afiliasi berdasarkan informasi dalam transfer pricing documentation wajib pajak.
Berdasarkan hasil analisis atas regulasi pada instansi lain, diketahui Kementerian Perdagangan telah menetapkan harga referensi dan harga patokan ekspor (HPE) CPO setiap tahun.
Namun, Kementerian Perdagangan kini hanya rutin menetapkan harga referensi. HPE tidak ditetapkan secara rutin sejak 2015. Adapun BPK mencatat rasio HPE terhadap harga referensi pada 2014 hingga 2015 berada dalam rentang 86,98% hingga 141,37%.
Dengan rasio dimaksud, BPK menyimulasikan perkiraan HPE 2022 dan 2023. Berdasarkan perkiraan HPE dan data volume ekspor, diketahui bahwa nilai ekspor 14 jenis CPO dan produk turunannya pada 2022 dan 2023 mencapai US$55,3 miliar.
Berdasarkan perbandingan antara nilai ekspor menggunakan perkiraan HPE dan nilai ekspor riil pada data CEISA, diketahui ada 13.174 transaksi dengan harga satuan lebih kecil dari perkiraan HPE.
Menurut BPK, total selisih harga seluruh transaksi dengan harga satuan lebih kecil dari perkiraan HPE dimaksud mencapai US$1,59 miliar atau Rp23,96 triliun dengan potensi PPh badan senilai Rp5,27 triliun.
Dengan potensi tersebut, BPK mendorong DJP dan DJSEF untuk menyusun kajian penyusunan regulasi PPh yang mengatur tentang penetapan peredaran bruto wajib pajak kelapa sawit berdasarkan harga dasar komoditas.
DJP dan DJSEF juga perlu berkoordinasi dengan kementerian teknis terkait penetapan harga patokan pada industri kelapa sawit. (rig)
