JAKARTA, DDTCNews - Kebijakan perpanjangan PPh final 0,5% bagi pelaku UMKM belum kunjung 'pasti'. Yang terbaru, pemerintah menyodorkan skenario pemberlakuan PPh final UMKM tanpa ada batas waktu. Kabar ini sontak menyedot perhatian netizen dalam sepekan terakhir.
Perpanjangan PPh final UMKM tanpa batas waktu ini rencananya akan berlaku bagi orang pribadi dan perseroan perorangan.
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengungkapkan pemerintah masih menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 sebagai payung hukum yang mengatur mengenai skema PPh final UMKM tersebut.
"Pemerintah sedang dalam proses merevisi PP 55/2022 yang antara lain mengatur: PPh final 0,5% diberlakukan tanpa batas waktu bagi UMKM orang pribadi dan UMKM perseroan perorangan," ujarnya.
Tidak hanya perorangan, Susiwijono menyampaikan pemerintah juga sedang menggodok aturan untuk memperbarui waktu pemanfaatan skema PPh final bagi UMKM koperasi.
Dia menyebut para pelaku UMKM koperasi rencananya dapat memanfaatkan keringanan pajak berupa tarif PPh final 0,5% hingga 2029 mendatang.
"Terhadap UMKM koperasi diberikan perpanjangan pemberlakuan PPh Final 0,5% sampai dengan tahun pajak 2029," kata Susiwijono.
Sebagai informasi, PP 55/2022 yang saat ini sedang direvisi, sebelumnya mengatur mengenai jangka waktu penerapan PPh final UMKM. Pasal 59 beleid itu menyatakan pemanfaatan PPh final paling lama 7 tahun untuk orang pribadi.
Kemudian, paling lama 4 tahun pajak untuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, BUMDes/BUMDesma, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang; serta 3 tahun pajak untuk perseroan terbatas.
Kebijakan perpanjangan PPh final UMKM ini memang sempat simpang siur. Pasalnya, melalui Program Paket Ekonomi pada 15 September 2025, pemerintah memperpanjang PPh final UMKM bagi wajib pajak orang pribadi hingga 2029. Namun, regulasi teknis yang lebih konkret belum terbit hingga saat ini karena masih digodok oleh pemerintah.
Kabar lainnya, tentang masukan bagi pemerintah untuk memangkas tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 8%.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku khawatir penurunan tarif PPN dari 11% menjadi 8% bisa membuat negara kehilangan potensi penerimaan pajak hingga ratusan triliun rupiah.
Sebelum menjadi menkeu, Purbaya sebenarnya mendukung penurunan tarif PPN menjadi 8%. Namun sejak menjabat menjadi bendahara negara, dia mengaku harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan pajak.
"Orang ngusulin coba PPN turunin ke 9% atau 8%. Waktu di luar, saya enaknya ngomong turunin saja ke 8%, tapi begitu jadi menkeu, setiap 1% turun, saya kehilangan pendapatan Rp70 triliun. Wah rugi juga nih," ucap Purbaya.
Sebelum memutuskan kebijakan soal tarif PPN, Purbaya mengatakan Kemenkeu perlu melakukan kajian terlebih dahulu. Di samping itu, Kemenkeu juga mesti mengkalkulasi dan mengevaluasi kemampuan negara dalam mengumpulkan penerimaan perpajakan setelah sistemnya dibenahi.
Dalam waktu dekat, dia berencana memperbaiki sistem administrasi pajak serta kepabeanan dan cukai. Menurutnya, perbaikan sistem tersebut bisa memakan waktu sekitar 6 bulan, yang hasilnya dapat terasa mulai awal 2026.
Selain 2 kabar di atas, ada pula beberapa bahasan lain yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, larangan bagi pemerintah daerah (pemda) untuk menaikkan NJOP pada tahun depan, ditolaknya gugatan soal pajak pensiun, hingga peringatan bagi pegawai pajak agar menjaga integritas.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali melarang pemerintah daerah untuk meningkatkan ketetapan PBB ataupun NJOP.
Merujuk pada Permendagri 14/2025 yang menjadi acuan dari penyusunan APBD 2026, pemda perlu menunda atau mencabut peraturan terkait pemberlakuan kenaikan tarif ataupun kenaikan NJOP.
"Untuk penetapan PBB serta kenaikan NJOP agar mempertimbangkan kondisi masyarakat agar tidak menimbulkan beban khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah," bunyi Lampiran Permendagri 14/2025.
DJP kembali mengingatkan wajib pajak agar mewaspadai modus penipuan yang mengatasnamakan coretax system.
DJP menjelaskan kini muncul modus penipuan berupa tautan palsu untuk mengunduh aplikasi coretax. Padahal, tidak ada aplikasi coretax yang bisa diunduh.
"Waspada penipuan! #KawanPajak, jangan sampai tertipu tautan palsu yang mengatasnamakan Coretax DJP!" tulis DJP.
DJP terus memperkuat kualitas layanan perpajakan serta membangun etos kerja, serta mentalitas positif di lingkungan kerja.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto berpesan kepada seluruh pegawai pajak untuk menjaga integritas, profesionalisme, dan semangat melayani publik. Menurutnya, setiap pegawai berperan penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan berorientasi pada kepuasan wajib pajak.
"Kualitas pelayanan pajak tidak hanya diukur dari kecepatan proses, tetapi juga dari ketulusan dan integritas dalam membantu wajib pajak. Setiap interaksi adalah cerminan nilai-nilai yang kita pegang sebagai abdi negara," katanya.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materiil yang diajukan atas ketentuan pajak atas pensiun dalam UU PPh s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan pemohon dalam Permohonan Nomor 170/PUU-XXIII/2025 tidak mampu menyusun permohonan dengan cermat.
"Hal tersebut terlihat dari adanya ketidakkonsistenan dan kekeliruan dalam penyebutan norma undang-undang yang dimohonkan untuk diuji," kata Arsul Sani dalam sidang pengucapan putusan.
Bimo Wijayanto meneken peraturan baru yang mengatur penonaktifan akses pembuatan faktur pajak. Peraturan yang dimaksud, yaitu Peraturan Dirjen (Perdirjen) Pajak No. PER-19/PJ/2025.
Beleid itu memerinci ketentuan penonaktifan akses pembuatan faktur pajak terhadap pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan. Sesuai dengan Pasal 65 ayat (1) huruf b PMK 81/2024, penonaktifan akses pembuatan faktur itu menjadi wewenang dirjen pajak.
“Direktur jenderal pajak berwenang untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak terhadap pengusaha kena pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sesuai dengan kriteria tertentu” bunyi Pasal 2 ayat (1) PER-19/PJ/2025. (sap)
