JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah menerima puluhan ribu pesan dari masyarakat melalui saluran pengaduan 'Lapor Pak Purbaya'. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Senin (27/10/2025).
Purbaya mengatakan aduan yang diterima mulai dari wajib pajak yang kesulitan mengajukan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) hingga soal penerbitan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK). Menurutnya, kasus ini akan ditindaklanjuti oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu, bukan oleh Ditjen Pajak (DJP).
"Timnya beda, bukan orang pajak. Ini Inspektorat Jenderal," ujar Purbaya.
Aduan soal sulitnya mengajukan pengukuhan PKP disampaikan oleh wajib pajak di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Wajib pajak ini mengaku dimintai uang senilai Rp10 juta dalam rangka memperlancar proses pengukuhan PKP.
Wajib pajak tersebut lantas memohon kepada Purbaya untuk mempermudah proses permohonan pengukuhan PKP. "Masa kita mau bayar PPN dan PPh dipersulit, bukan dipermudah," bunyi aduan wajib pajak yang dibacakan Purbaya.
Di sisi lain, ada wajib pajak mengeluh masih diterbitkan SP2DK walaupun sudah mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS) serta melaksanakan kewajiban pembayaran dan pelaporan pajak masa. Aduan ini datang dari wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama Pati.
Purbaya telah memerintahkan Itjen Kemenkeu untuk menindaklanjuti berbagai aduan ini. Menanggapi perintah tersebut, Irjen Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh mengatakan akan menangani aduan secara independen.
"Nantinya prinsipnya yang menangani adalah itjen supaya independen. Namun, nanti dalam proses pelaksanaannya kita koordinasi dengan DJP dan DJBC," ujar Awan.
Selain topik tersebut, terdapat ulasan tentang tantangan dalam perbaikan coretax system. Setelahnya, ada pembahasan soal rencana otoritas mereviu skema tarif efektif rata-rata (TER) dalam penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21.
Purbaya mengatakan sudah menerima sebanyak 28.390 pesan dari masyarakat melalui saluran pengaduan 'Lapor Pak Purbaya'.
Dari jumlah pesan yang masuk, 14.025 di antaranya sudah diverifikasi. Adapun dari jumlah tersebut, sebanyak 722 pesan merupakan aduan terkait dengan pajak ataupun kepabeanan dan cukai.
"Aduan yang telah diverifikasi untuk ditindaklanjuti sebanyak 437 laporan, terdiri dari 239 masalah DJP dan 198 masalah DJBC," kata Purbaya. (DDTCNews, Kontan, Bisnis Indonesia)
Ditjen Pajak (DJP) berencana mereviu skema tarif efektif rata-rata (TER) dalam penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 pada akhir tahun ini.
Skema TER PPh Pasal 21 telah berlaku sejak 1 Januari 2024. Pada akhir tahun nanti, TER resmi diimplementasikan selama 2 tahun.
"Evaluasinya, akhir tahun kita akan reviu. Kan sudah 2 tahun ya kebijakan ini berjalan, nanti kita akan reviu," tutur Dirjen Pajak Bimo Wijayanto. (DDTCNews)
Purbaya mengatakan kendala pada coretax administration system tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Purbaya mengatakan pihaknya telah menyelesaikan kendala-kendala yang bisa diselesaikan oleh internal pemerintah. Meski demikian, terdapat beberapa kendala yang memang tidak bisa ditangani dalam waktu singkat karena masih adanya kontrak dengan vendor.
"Masih ada bagian-bagian yang terikat kontrak dengan LG (vendor coretax). Kita belum dikasih akses ke sana. Desember baru dikasih ke kita," ujar Purbaya. (DDTCNews, Tempo, Kompas)
Purbaya juga mendapatkan laporan dari pengusaha sigaret kretek yang kesulitan memperoleh Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).
Menurutnya, pelaku UMKM produsen rokok kretek yang berdomisili di Madura, Jawa Timur, ini memakan waktu lebih dari 1 tahun hanya untuk mengurus perizinan NPPBKC.
"Kenapa susah? Coba deh di-follow up, diajarin lah orang di sana, kalau dia [pelaku usaha] masuk sistem kan kita dapat cukai tambahan. Mungkin juga yang liar-liar [produsen rokok ilegal] mau masuk sistem tuh," ujarnya sambil memberi instruksi kepada Dirjen Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama. (DDTCNews)
Pemerintah telah menerbitkan PP 44/2025 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Pengelolaan, dan Penyelesaian Keberatan, Keringanan, dan Pengembalian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
PP 44/2025 bersifat omnibus karena menggantikan 3 peraturan sekaligus, yakni PP 69/2020 tentang Tata Cara Penetapan Tarif atas Jenis PNBP, PP 59/2020 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, Keringanan, dan Pengembalian PNBP, dan PP 58/2020 tentang Pengelolaan PNBP.
"Pengaturan pengelolaan PNBP sebagaimana diatur dalam PP 58/2020, pengaturan pengajuan dan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP sebagaimana diatur dalam PP 59/2020, dan pengaturan tata cara penetapan tarif atas jenis PNBP sebagaimana diatur dalam PP 69/2020 belum menyesuaikan perkembangan regulasi bidang cipta kerja sehingga perlu diganti," bunyi salah satu pertimbangan PP 44/2025. (DDTCNews) (dik)
