KEBIJAKAN PAJAK

Perpindahan Pengadilan Pajak Perlu Transformasi Penyelesaian Sengketa

Muhamad Wildan
Rabu, 18 Juni 2025 | 20.45 WIB
Perpindahan Pengadilan Pajak Perlu Transformasi Penyelesaian Sengketa

Founder DDTC Danny Septriadi (tengah).

JAKARTA, DDTCNews - Pengalihan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke Mahkamah Agung (MA) perlu diikuti transformasi sistem penyelesaian sengketa pajak di Indonesia.

Founder DDTC Danny Septriadi mengatakan selama ini Pengadilan Pajak menjadi pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Menurutnya, ke depan, diperlukan satu tingkatan pengadilan di atas Pengadilan Pajak yang memungkinkan wajib pajak mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Pajak.

"Selaku praktisi pajak, kami memerlukan court of appeal. Saat ini, putusan Pengadilan Pajak bersifat final and binding. Setelah itu, kami hanya bisa mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA)," katanya dalam kuliah umum dan diskusi panel bertajuk Reformasi Kelembagaan Pengadilan Pajak untuk Mencapai Penyelesaian Sengketa yang Efektif dan Independen: Pengalaman Belanda yang diselenggarakan oleh STHI Jentera, DDTC, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada hari ini, Rabu (18/6/2025).

Danny mengatakan harus ada keseimbangan antara prinsip finalitas dan falibilitas. Prinsip finalitas merupakan prinsip yang mengharuskan adanya akhir dari suatu perkara. Namun, mengingat hakim adalah manusia yang berpotensi khilaf dan keliru dalam memutus perkara (fallible) maka wajib pajak perlu diberi akses untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi. Simak: Menyeimbangkan Prinsip Finalitas dan Falibilitas dalam Peradilan Pajak

Tak hanya itu, dia juga berpandangan penyatuan atap Pengadilan Pajak juga perlu diikuti dengan penghapusan sanksi administratif berupa denda sebesar terhadap wajib pajak yang bandingnya ditolak atau dikabulkan sebagian. Simak juga buku: Kajian Persiapan Penyatuan Atap Pengadilan Pajak dari Kemenkeu ke Mahkamah Agung

Selama ini, wajib pajak yang bandingnya ditolak atau dikabulkan sebagian harus membayar denda sebesar 60% dari jumlah pajak dalam putusan banding dikurangi pajak yang dibayar sebelum pengajuan keberatan.

"Adanya sanksi ini membuat wajib pajak terdorong untuk membayar karena mereka takut permohonan bandingnya tidak terkabul dan harus membayar denda. Wajib pajak tidak mau ambil risiko, jadi mereka membayar," ujar Danny.

Ke depan, sanksi bagi wajib pajak yang permohonan bandingnya ditolak atau dikabulkan sebagian perlu dikurangi menjadi sebesar persentase tertentu yang lebih mencerminkan time value of money dari tertundanya penerimaan negara.

Selain itu, pengalihan kewenangan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak ke MA juga perlu diikuti dengan penguatan independensi Pengadilan Pajak. 

Sesuai dengan Pasal 2 UU 14/2022, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.

"Pengadilan Pajak di Indonesia sesungguhnya memiliki kesamaan prinsip dengan Hoge Raad, yakni memberikan perlindungan terhadap individual legal rights. Secara umum, spiritnya sama," ujar Danny.

Terakhir, Danny berharap kuasa hukum yang selama ini sudah memiliki izin kuasa hukum (IKH) tetap bisa beracara di Pengadilan Pajak meski pengadilan tersebut resmi dialihkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangannya dari Kemenkeu ke MA. Simak juga buku: Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Perbandingan

"Syarat baru bagi kuasa hukum seyogianya hanya berlaku bagi mereka yang baru mengajukan permohonan untuk menjadi kuasa hukum," tuturnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.