SELUK-BELUK KEPABEANAN

Perjalanan Bea Masuk sebagai Alat Negosiasi Dagang & Sumber Penerimaan

Nora Galuh Candra Asmarani
Rabu, 09 April 2025 | 16.15 WIB
Perjalanan Bea Masuk sebagai Alat Negosiasi Dagang & Sumber Penerimaan

Foto udara sejumlah truk peti kemas melintas di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (8/4/2025). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/Spt.

PERDAGANGAN internasional mengalami perkembangan pesat dari waktu ke waktu. Ciri khas dari perdagangan internasional adalah kegiatan perdagangan yang melewati batas-batas negara. Perdagangan internasional muncul karena adanya pelaku usaha, individu, dan pemerintah yang ingin melakukan jual beli barang atau jasa yang diproduksi di negara lain.

Penawaran dan permintaan menjadi dasar dari arus perdagangan, masing-masing negara saling bergantung dan saling mengisi serta memerlukan produk barang maupun jasa. Adanya perdagangan lintas batas ini memberikan multiplier effect, di antaranya terhadap pertumbuhan ekonomi, perkembangan industri, dan  pemupukan modal (Purwito dan Indriani: 2015).

Sebelum adanya larangan dari World Trade Organization (WTO), dalam perdagangan internasional dikenal adanya sistem proteksi. Sistem proteksi berupaya untuk melindungi produksi dalam negeri agar dapat bersaing khususnya terhadap barang impor (Purwito dan Indriani: 2015).

Instrumen yang digunakan adalah melalui pentarifan, yaitu hambatan tarif. Artinya, suatu negara mengenakan tarif yang tinggi terhadap barang-barang yang sejenis yang berasal dari impor. Tujuan kebijakan ini lebih bersifat politis, yaitu memaksimalkan produksi dalam negeri dan memperluas lapangan kerja (Purwito dan Indriani: 2015).

Peningkatan praktik proteksionisme sempat berlangsung pada kurun 1914 hingga 1945 (masa perang dunia I hingga pasca perang dunia II).  Pada masa ini terjadi krisis ekonomi yang parah, termasuk pengangguran massal dan kegagalan sistem ekonomi makro global. Alhasil, banyak negara yang memperketat perekonomiannya serta melakukan proteksi ekonomi dan perdagangan.

Misal, Amerika Serikat (AS) sempat menerapkan Smooth-Hawley Act pada 1930. Melalui undang-undang tersebut, AS menaikkan tarif bea masuk rata-rata dari 39% hingga menjadi 53% (Fuady, 2004). Namun, penerapan undang-undang tersebut justru memperparah depresi ekonomi di AS (Whaples, 1995). Selain AS, sejumlah negara juga turut menerapkan hambatan tarif.

Berkaca pada  kejadian 1930-an di mana  perdagangan dunia justru hancur karena penerapan hambatan tarif, mulailah timbul kesadaran kembali akan pentingnya kebebasan dalam suatu perdagangan internasional. Untuk itu, sistem perdagangan dunia pun mulai direstrukturisasi kembali di antaranya melalui kesepakatan atau perjanjian yang bersifat bilateral dan multilateral.

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) menjadi salah satu persetujuan multilateral terkait dengan perdagangan internasional. Adapun GATT merupakan persetujuan antarnegara yang bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi dan mengurangi tarif serta batasan batasan perdagangan lainnya (UNCTAD, 2003).  

Most Favored Nation (MFN) menjadi salah satu prinsip utama dalam GATT. Berdasarkan prinsip ini, suatu kebijakan perdagangan antara negara-negara anggota harus dilakukan atas dasar nondiskriminasi. Artinya, semua negara terikat untuk memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan impor dan ekspor. Misal, suatu negara tidak diperkenankan untuk meningkatkan tingkat tarif yang berbeda pada suatu negara dibandingkan dengan negara lain.

Namun, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip MFN. Pengecualian itu antaranya berlaku untuk negara-negara dalam suatu wilayah yang dapat membentuk persetujuan perdagangan bebas. Pengecualian lain adalah apa yang disebut dengan ketentuan pengamanan atau safeguard rules. (Barutu, 2007).

Bea Masuk untuk Pengawasan

Sebelumnya, ketika negara di dunia menerapkan kebijakan proteksionisme, penerimaan bea masuk cenderung berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan perpajakan sebuah negara. Sebaliknya, penerimaan bea masuk akan mengecil ketika dunia mulai menerapkan sistem perdagangan bebas.

Shome (2014) menjelaskan bea masuk pada awalnya diterapkan untuk melindungi industri di dalam negeri dari gempuran barang impor. Melalui pengenaan bea masuk, produk dari industri domestik diharapkan mampu bersaing dengan barang-barang impor.

Tercapainya kesepakatan pada 1994 dari perundingan perdagangan di bawah GATT (Uruguay Round) makin mendorong liberasi perdagangan (Carlsnaes et al, 2021). Seiring dengan globalisasi, perdagangan bebas pun semakin melesat. Dinamika perdagangan tersebut pada muaranya menggeser fungsi bea masuk dari sebagai sumber penerimaan menjadi fungsi pengawasan lalu lintas barang.

Seiring dengan berkembangnya perdagangan internasional dan perdagangan bebas, pemungutan bea masuk pun cenerung ke arah zero tariff atau tarif nol. Setidaknya antara negara-negara berlaku tarif yang setara dan tidak terlalu tinggi. Hal ini bertujuan untuk menghindari pertimbangan atau pemikiran bahwa tarif dapat digunakan sebagai alat proteksi bagi negara (Purwito, 2010). Baca 'Susutnya Kontribusi Kepabeanan atas Impor pada Penerimaan Perpajakan'.

Namun, di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, AS kini juga kembali menggunakan instrumen bea masuk untuk melindungi perekonomiannya. Sejak Trump dilantik, AS telah mengenakan bea masuk yang lebih tinggi untuk beberapa barang seperti kendaraan bermotor serta alumunium dan baja.

Selain itu, AS juga mengenakan bea masuk resiprokal terhadap barang impor dari banyak negara. Makin tinggi defisit neraca dagang AS terhadap negara tersebut, makin tinggi pula bea masuk resiprokal yang diterapkan. Misal, Indonesia tercatat akan dikenakan bea masuk resiprokal sebesar 32%.

White House sempat memperkirakan kebijakan bea masuk Trump akan menghasilkan penerimaan senilai US$6 triliun dalam 1 dekade berikutnya. Bagi Trump, bea masuk sebetulnya tidak hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga instrumen yang mendukung kebijakan domestik.

Merujuk laman resmi White House, bea masuk resiprokal merupakan kebijakan AS untuk menyeimbangkan kembali arus perdagangan global dengan mengenakan bea masuk ad valorem tambahan pada semua impor dari seluruh mitra dagang kecuali yang ditetapkan lain.

Langkah yang ditempuh Trump ini membalikkan pola yang sudah terbentuk di tataran dunia tentang pemungutan bea masuk. Penggunaan bea masuk sebagai instrumen untuk melindungi perdagangan domestik AS, sekaligus menjadi penanda kembalinya praktik proteksionisme.

Sesuai dengan jargon yang diusung sejak pemerintahan Jilid I, Make America Great Again, Trump memilih jalan proteksi untuk membangun kembali kejayaan industri dalam negerinya. Tinggal kita berharap, semoga genderang perang dagang yang ditabuh Trump ini tidak benar-benar berujung pada perang dunia. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.