Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Rangkaian penyidikan tindak pidana perpajakan dimulai dengan kegiatan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 17/2025 pun telah mengatur ketentuan seputar pemeriksaan dalam rangka penyidikan.
Merujuk PMK 17/2025, pemeriksaan itu dimaksudkan agar kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana perpajakan menjadi jelas dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
“Pemeriksaan dalam penyidikan ... adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan saksi, ahli, tersangka, dan/atau barang bukti, maupun tentang dugaan unsur-unsur tindak didana,” bunyi penggalan Pasal 1 angka 29 PMK 17/2025, dikutip pada Selasa (4/3/2025).
Salah satu muatan yang diatur dalam PMK 17/2025 adalah hak yang dimiliki oleh tersangka dalam pemeriksaan. Tersangka berarti setiap orang baik orang pribadi maupun badan yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan minimal 2 alat bukti yang sah didukung barang bukti, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pertama, diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
Kedua, memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik. Ketiga, mendapat bantuan juru bahasa. Keempat, mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu pemeriksaan.
Kelima, mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Keenam, mengajukan permohonan penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Ketujuh, meminta turunan dari berita acara pemeriksaan kepada penyidik. Kedelapan, atas hak-hak lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU HAP). Selain itu, tersangka juga berhak mendapat pendampingan dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh penyidik sebagaimana diatur dalam UU HAP.
Penunjukan penasihat hukum oleh penyidik tersebut dilakukan dalam hal tersangka: (i) tidak mampu; (ii) diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; dan (iii) tidak mempunyai penasihat hukum sendiri.
Selain atas tersangka, PMK 17/2025 juga mengatur ketentuan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi atau ahli. Khusus untuk pemeriksaan terhadap saksi ahli, PMK 17/2025 memberikan 2 opsi pelaksanaan, yaitu secara tatap muka dan/atau secara elektronik.
PMK 17/2025 juga mengatur ketentuan apabila pemeriksaan perlu dilakukan di luar negeri. Berdasarakan Pasal 7 ayat (6) PMK 17/2025, apabila pemeriksaan perlu dilaksanakan di luar negeri maka penyidik melakukan pemeriksaan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana. (sap)