Grafik yang dipaparkan OECD dalam dokumen OECD Economic Survey of Indonesia 2024.
JAKARTA, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendorong pemerintah Indonesia untuk mereformasi sistem PPN, cukai, PPh, dan PBB dalam rangka meningkatkan tax ratio.
Dalam dokumen OECD Economic Survey of Indonesia 2024, OECD menyatakan tax ratio Indonesia tergolong sangat rendah bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
"Ketimbang negara-negara lainnya, sebagian besar penerimaan pajak Indonesia berasal dari PPh badan, PPN, serta pajak barang dan jasa lainnya. Namun, rasio PPh badan dan PPN Indonesia terhadap PDB masih sangat rendah," tulis OECD, dikutip pada Kamis (28/11/2024).
Untuk meningkatkan tax ratio, Indonesia perlu menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP) yang saat ini senilai Rp4,8 miliar atau US$300.000. Menurut OECD, threshold tersebut lebih tinggi ketimbang negara lainnya seperti di Thailand di Filipina, yang sekitar US$50.000.
Tak hanya itu, OECD juga mendorong Indonesia untuk mengurangi fasilitas PPN. "Penurunan threshold PKP dan pengurangan jumlah sektor yang tidak dikenai PPN akan meningkatkan penerimaan PPN," jelas OECD.
Sementara itu, OECD juga mendorong Indonesia untuk terus meningkatkan cukai rokok dalam rangka meningkatkan penerimaan dan kualitas kesehatan masyarakat. OECD juga mendorong kenaikan tarif pajak bahan bakar sembari menekan subsidi BBM.
Terkait dengan PPh orang pribadi, OECD menilai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Indonesia terlalu tinggi, yakni Rp54 juta atau 65% dari PDB per kapita. Akibatnya, hanya sekitar 10% populasi Indonesia yang wajib membayar PPh orang pribadi.
Oleh karena itu, Indonesia juga perlu menurunkan PTKP guna memperluas basis pajak PPh orang pribadi. Kemudian, Indonesia juga perlu meningkatkan penerimaan dengan menjaga kepatuhan pajak dan memerangi pengelakan pajak oleh orang pribadi berpenghasilan tinggi.
Mengenai PPh badan, OECD memandang Indonesia perlu mereformasi skema PPh final UMKM sekaligus insentif PPh yang selama ini berlaku. Menurut OECD, insentif yang berlaku di Indonesia perlu disesuaikan dengan ketentuan pajak minimum global.
Perihal penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), OECD menilai realisasinya yang baru 0,3% dari PDB. Angka tersebut jauh lebih rendah ketimbang rata-rata realisasi penerimaan PBB di negara-negara Asia Tenggara.
Menurut OECD, rendahnya realisasi penerimaan PBB tersebut disebabkan oleh pengenaan PBB yang hanya dilakukan atas 20% hingga 40% dari nilai jual objek pajak.
Oleh karena itu, pemda di Indonesia perlu mengenakan PBB atas seluruh nilai jual objek pajak dan mulai mengembangkan kadaster terpusat. Kedua langkah ini diyakini akan meningkatkan penerimaan PBB secara signifikan. (rig)