KEBIJAKAN PEMERINTAH

PMI Manufaktur Terkontraksi, Pemerintah Optimalkan Bauran Kebijakan

Dian Kurniati
Selasa, 03 September 2024 | 15.00 WIB
PMI Manufaktur Terkontraksi, Pemerintah Optimalkan Bauran Kebijakan

Ilustrasi. Pekerja melipat pakaian jadi sebelum dikirim ke konsumen di rumah konveksi Mack Indonesia, Tunjungsekar, Malang, Jawa Timur, Selasa (13/8/2024). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.

JAKARTA, DDTCNews – Seiring dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 yang menurun ke level 48,9, pemerintah akan menyiapkan bauran kebijakan untuk melindungi industri yang tengah menghadapi tantangan berat.

Industri yang dimaksud contohnya ialah industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki yang diklaim pemerintah tidak hanya melemah dari sisi kinerja ekspor, tetapi juga daya saing di pasar domestik akibat tergerus produk impor.

"Pemerintah terus berupaya mendorong daya saing industri dengan berbagai bauran kebijakan," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu, Selasa (3/9/2024).

Febrio menuturkan kontraksi PMI manufaktur tidak terlepas dari penurunan kinerja sektor manufaktur global di tengah tekanan permintaan. Pelemahan pertumbuhan ekonomi China, kawasan Eropa, dan Amerika pun harus makin diantisipasi ke depannya.

Aktivitas manufaktur negara mitra dagang dan kawasan Asean juga mengalami tantangan yang sama, seperti AS dan Jepang yang PMI manufakturnya masing-masing di level 48,0 dan 49,8.

Selain itu, negara tetangga seperti Malaysia dan Australia juga kembali mencatatkan PMI manufaktur yang terkontraksi masing-masing pada level 49,7 dan 48,5.

Di tengah perlambatan PMI, Febrio optimistis kinerja sejumlah industri di Indonesia masih terjaga. Misal, industri makanan dan minuman serta kimia farmasi yang hingga kuartal II/2024 konsisten tumbuh di atas 5%.

"Industri logam dasar bahkan tumbuh hingga 18,1% seiring dengan proses hilirisasi yang semakin menunjukkan hasil," ujarnya.

Meski begitu, lanjut Febrio, pemerintah akan terus memperhatikan beberapa sektor industri yang sedang tertekan, terutama TPT dan alas kaki. Guna menjaga daya saing produk TPT, pemerintah juga telah menerapkan kebijakan proteksi berupa bea masuk tindakan pengamanan (BMTP).

BMTP tersebut di antaranya diterapkan untuk pakaian dan aksesori pakaian sampai dengan November 2024; tirai, kelambu tempat tidur, serta benang dari serat stapel sintetik dan artifisial sampai dengan Mei 2026; serta kain dan karpet hingga Agustus 2027.

Selain itu, kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) juga diterapkan untuk produk polyester staple fiber (benang) asal India, China, dan Taiwan sampai dengan Desember 2027.

"Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi dan meningkatkan daya saing industri TPT dalam negeri yang memiliki serapan tenaga kerja besar," jelas Febrio.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya menyatakan bahwa kontraksi PMI manufaktur pada Agustus 2024 diakibatkan belum ada kebijakan signifikan dari kementerian/lembaga lain yang mampu meningkatkan kinerja industri manufaktur.

Oleh karena itu, Kemenperin mendorong adanya beberapa kebijakan seperti percepatan perluasan harga gas bumi tertentu (HGBT) serta percepatan BMAD khususnya untuk industri terdampak seperti keramik dan kertas.

Selain itu, Kemenperin juga mendorong percepatan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta percepatan pembatasan barang impor dan penegakan hukum atas impor ilegal. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.