Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji dalam podcast oleh TERC LPEM FEB UI.
JAKARTA, DDTCNews - Penyelenggaraan perdagangan karbon melalui bursa karbon perlu segera dibarengi dengan pengenaan pajak karbon oleh pemerintah.
Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan pengenaan pajak karbon diperlukan untuk meningkatkan transaksi kredit karbon pada bursa karbon. Menurut Bawono, kehadiran pajak karbon diperlukan untuk meningkatkan demand dari kredit karbon.
"Dengan belum adanya pajak karbon ini bisa saja membuat carbon trading di Indonesia ini tidak terlalu bergairah, karena tidak ada paksaan dan demand-nya menjadi tidak terlalu banyak. Orang merasa tidak terpaksa untuk membeli kredit karbon," ujar Bawono dalam podcast yang disiarkan oleh TERC LPEM FEB UI, dikutip pada Rabu (20/12/2023).
Dengan demikian, kehadiran pajak karbon diperlukan guna mendorong terciptanya demand atas kredit karbon yang diperdagangkan di bursa.
Merujuk pada UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pajak karbon seharusnya diberlakukan mulai 1 April 2022 dan dikenakan pertama kali atas PLTU batu bara. Namun, pajak karbon belum dikenakan karena roadmap atau peta jalan pajak karbon Indonesia masih belum tersedia.
Peta jalan pajak karbon Indonesia diperlukan untuk menentukan sektor-sektor apa saja yang dibebani pajak karbon dan batasan atau cap emisi karbon yang berlaku bagi setiap sektor.
"Saat ini kita memang belum punya peta jalan pajak karbon Indonesia. Ini seharusnya disusun sesegera mungkin setelah UU HPP itu diterbitkan. Waktu itu harusnya langsung disusun, dikonsultasikan dengan DPR, termasuk sektor mana yang dikenakan dan tarifnya berapa," ujar Bawono.
Kehadiran pajak karbon nantinya juga akan melengkapi rezim perdagangan karbon yang baru diluncurkan oleh Indonesia pada tahun ini. Bila pajak karbon sudah berlaku, pelaku usaha yang emisinya melampaui cap nantinya memiliki pilihan antara membeli kredit karbon di bursa atau membayar pajak karbon.
"Dia bisa beli carbon credit di bursa karbon lewat carbon trading, atau dia memilih membayar pajaknya. Misal cap emisinya adalah 100 ton, pilihannya 2 antara membeli carbon credit sesuai harga pasar atau pilih bayar pajak," ujar Bawono.
Untuk diketahui, terdapat 2 jenis unit karbon yang diperdagangkan di bursa karbon yakni persetujuan teknis batas atas emisi pelaku usaha (PTBAE-PU) dan sertifikat pengurangan emisi GRK (SPE-GRK).
PTBAE-PU atau allowance merupakan perdagangan emisi yang dilakukan dengan menetapkan cap emisi bagi pelaku usaha. Adapun SPE-GRK atau offset adalah sertifikasi sebagai bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha dan/atau kegiatan yang telah dilakukan.
Penjelasan Bawono mengenai pajak karbon ini bisa disimak secara lengkap melalui siniar di Youtube yang diproduksi oleh TERC LPEM FEB UI, berjudul Carbon Tax: Will it Put an End Towards Emission? Selain itu, ada dua episode siniar lainnya yang juga menghadirkan Bawono sebagai narasumber, yakni Digital Tax: One Step Ahead in Encountering Global Recession dan How Tax Policies Can Help Achieve Net-Zero Emissions and Sustainable Development Goals (SDGs). (sap)