ANALISIS PAJAK

Pertumbuhan PDB dan Penerimaan Pajak: Hubungan yang Elusif & Bersyarat

Redaksi DDTCNews
Jumat, 19 Desember 2025 | 10.00 WIB
Pertumbuhan PDB dan Penerimaan Pajak: Hubungan yang Elusif & Bersyarat
Director of DDTC Fiscal Research & Advisory

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menggarisbawahi skala prioritasnya untuk menggairahkan ekonomi Indonesia dalam jangka pendek. Pernyataan tersebut umumnya dilontarkan kala menjawab pertanyaan media mengenai strategi pemerintah di tengah penerimaan pajak yang lesu dan agenda optimalisasi pendapatan negara di tahun mendatang.

Pesannya jelas. Ada keyakinan bahwa penerimaan pajak dan tax ratio akan membesar setelah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) meningkat. Pertumbuhan ekonomi dahulu, penerimaan pajak niscaya akan mengikuti.

Artikel ini ingin menguji gagasan tersebut dengan menelusuri bagaimana kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak. Keduanya tentu sama-sama berkontribusi positif bagi kesejahteraan.

Meskipun demikian, apakah agenda untuk mencapai salah satunya harus mengorbankan yang lain? Apakah keduanya harus diraih secara sekuensial -misal pertumbuhan PDB dahulu, baru penerimaan pajak meningkat-? Atau, jangan-jangan terdapat prasyarat lain yang selama ini luput diperhatikan dalam menyeimbangkan kedua objektif tersebut?

Hubungan yang Rumit

Sebelum masuk dalam pembahasan, mari kita simak data berikut.

Berdasarkan World Revenue Longitudinal Database yang dikompilasi oleh IMF, diketahui angka tax ratio di berbagai negara pada tahun 2022. Tax ratio Norwegia (negara berpendapatan tinggi) sebesar 35,71%, Brazil (negara berpendapatan menengah-atas) sebesar 24,67%, Kamboja (negara berpendapatan menengah-bawah) sebesar 14,74%, dan Sudan (negara berpendapatan rendah) sebesar 8,69%.

Interpretasi data tersebut cukup solid. Kian maju suatu negara, penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan kian besar. Walau terdapat deviasi dan pencilan, sebaran negara berdasarkan kelompok pendapatannya umumnya masih selaras dengan tax ratio yang meningkat.

Pertanyaannya, apakah artinya ekonomi suatu negara harus tumbuh dan naik kelas terlebih dahulu sehingga mampu meningkatkan tax ratio? Atau justru kemampuan untuk mengumpulkan penerimaan pajaklah yang memberikan daya dorong pendapatan nasional sehingga lebih maju? Ibarat ayam atau telur, mana yang lebih dulu?

Hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak merupakan salah satu area yang kerap menjadi diskusi di kalangan ekonom dan perumus kebijakan. Pasalnya, berbagai literatur tentang hubungan keduanya bisa dibilang memberikan posisi yang ambigu.

Beberapa pihak meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi faktor yang menyebabkan bertambahnya penerimaan pajak. Pendapat ini bermuara pada Wagner’s law (1883) yang diperkenalkan oleh ahli keuangan publik dari Jerman, Adolph Wagner.

Wagner’s law pada dasarnya meneliti hubungan pertumbuhan ekonomi dengan apa yang disebut sebagai ukuran pemerintah (government size). Besar kecilnya ukuran pemerintah tersebut terdiri atas dwitunggal komponen fiskal, yaitu belanja publik dan penerimaan pajak.

Bertumbuhnya perekonomian suatu negara dan pendapatan nasional dipercaya akan meningkatkan permintaan masyarakat atas barang dan jasa publik. Untuk mengakomodir permintaan tersebut, pemerintah harus mengumpulkan lebih banyak penerimaan pajak. Uang pajak itulah yang akan dipergunakan sebagai modal pendanaan pembangunan (Myles, 2000).

Hubungan kausalitas antara pertumbuhan PDB terhadap penerimaan pajak tersebut bersifat searah (positif). Jika ekonomi melemah, penerimaan pajak juga lesu. Vice versa. Hingga saat ini, berbagai penelitian empiris di berbagai negara dan kawasan mengkonfirmasi Wagner law tersebut (Bohl, 1996; Lamartina dan Zaghini, 2011; Biyase dan Zwane, 2015).

Menariknya, dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penerimaan pajak belum tentu sama besar. Misalkan, studi yang dilakukan Fedotenkov dan Idrisov (2019) terhadap negara-negara OECD selama periode 2000-2017. Walau penerimaan pajak bertumbuh positif, tapi pergerakannya lebih lambat.

Meskipun demikian, gagasan untuk mendahulukan pertumbuhan ekonomi pada hakikatnya tidak melulu berada dalam arus Wagner’s law semata. Ide ini saling-silang dengan berbagai area ilmu ekonomi lainnya, semisal teori pendapatan, model tahapan pembangunan ekonomi, dan lain-lain.

Satu hal yang pasti, pertumbuhan mempunyai implikasi yang bagus bagi perekonomian dan pajak. Makin banyak laba yang diperoleh perusahaan, konsumsi yang dilakukan individu, tabungan yang disimpan masyarakat, dan sebagainya, membuat pajak kian cemerlang. Musgrave dan Musgrave (1973) bahkan telah menjelaskan bagan tentang geliat aktivitas di setiap siklus perputaran ekonomi dan kaitannya terhadap potensi pemajakan.

Tidak semua pihak sepakat. Sebagian akademisi justru berpendapat bahwa tingkat penerimaan pajaklah yang akan memengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini dipengaruhi oleh pemikiran Keynes (1936) yang menitikberatkan intervensi fiskal jangka pendek dalam hal menanggulangi resesi atau krisis.

Barro dan Xala-i-Martin (1992) kemudian memperlihatkan bahwa kemampuan pemungutan pajak justru memungkinkan pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak sumber daya ke perekonomian. Di saat yang bersamaan, pemungutan pajak juga akan menciptakan governance dan mengurangi risiko pasar yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi (Burgess dan Stern, 1993). Akibatnya, aktivitas ekonomi meningkat dan bertumbuh lebih besar. Singkatnya, kausalitas bersifat searah/positif.

Akan tetapi, pajak juga dapat bersifat distortif terhadap perekonomian. Kian tinggi pemungutan pajak, pertumbuhan ekonomi akan melambat (kausalitas negatif). Asumsi ini diadopsi dalam paradigma supply-side economics yang diadvokasi oleh Laffer (1974). Dengan demikian, intervensi yang perlu dilakukan ialah dengan cara mengurangi government size melalui pengurangan pajak.

Untuk menjembatani kedua pendapat yang bertolak belakang tersebut -yakni pajak yang pro dan kontra terhadap pertumbuhan- kita perlu memberikan perhatian lebih atas BARS curve. Kurva ini dikembangkan oleh empat peneliti yang memberikan posisi serupa di waktu yang hampir bersamaan, yaitu Barro (1989), Armey, et al (1995), Rahn (1996), dan Scully (1994).

BARS curve merupakan kurva berbentuk U terbalik (inverted U-shape) yang memperlihatkan pengaruh penerimaan pajak (sektor publik, termasuk belanja pemerintah) terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, terdapat dua kondisi yang berbeda. Pada awalnya, penerimaan pajak akan mendorong kemampuan pemerintah untuk menggerakkan ekonomi (kausalitas positif). Namun, setelah titik optimal tertentu, pemungutan pajak justru akan membuat ekonomi melemah karena kecenderungan overtaxed, fenomena crowding out, dan sebagainya (kausalitas negatif).

Seiring berjalannya waktu, dikotomi antara Wagner law dan pandangan Keynesian juga kian cair. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan government size (penerimaan pajak) bahkan diyakini bersifat kausalitas dua arah atau saling memengaruhi. Temuan tersebut salah satunya dikonfirmasi oleh Wu, Tang, dan Lin (2010) atas penelitiannya terhadap 182 negara selama periode 1950-2004.

Syarat Minimum

Jika kedua pandangan tersebut sama-sama valid, kerumitannya berlanjut pada dua pertanyaan penting lainnya. Seberapa besar pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi landasan optimalisasi penerimaan pajak? Dan, berapakah tingkat penerimaan pajak yang harus dikumpulkan sebagai syarat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan?

Jawaban sederhana dari keduanya ialah more is better. Akan tetapi, karena pajak juga dapat bersifat distortif terhadap perekonomian agaknya kita harus mencermati potensi terjadinya trade-off. Istilahnya, terdapat hubungan nonlinear.

Hingga saat ini, hampir tidak ada literatur yang membahas prasyarat angka pertumbuhan ideal bagi optimalisasi penerimaan pajak. Meskipun demikian, koefisien antara keduanya dapat dijelaskan melalui konsep tax buoyancy. Indikator ini mencerminkan seberapa besar pertumbuhan PDB dapat ditransformasikan kepada pertumbuhan penerimaan pajak (World Bank, 2025).

Tax buoyancy sebesar ≥ 1,0 dapat diartikan bahwa adanya 1% pertumbuhan PDB dapat setidaknya menghasilkan 1% pertumbuhan penerimaan pajak. Dalam kondisi tersebut, terdapat keselarasan maupun daya ungkit perekonomian terhadap pajak yang dikumpulkan. Jika tax buoyancy < 1,0, pemerintah harus ‘menggenjot’ pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dalam rangka mengejar target penerimaan pajak tertentu. Oleh sebab itu, membentuk tax buoyancy senilai ≥ 1 merupakan tujuan krusial.

Di Indonesia, nilai tax buoyancy relatif dinamis selama 20 tahun terakhir. Rata-rata tax buoyancy Indonesia 2005-2024 (mengecualikan tahun 2020) sebetulnya relatif baik yaitu sebesar 0,98 atau nyaris ideal.

Akan tetapi jika kita perhatikan lebih dalam, angka tax buoyancy dalam kondisi perekonomian yang stabil yaitu sebelum periode Covid-19 (2005-2019) justru lebih kecil. Hanya sebesar 0,83. Sebagai catatan, angka dalam periode krisis -seperti halnya pandemi- dapat dianggap sebagai short-term buoyancy karena adanya distorsi terhadap PDB, pajak, dan tax expenditure secara bersamaan (Hill, Jinjarak, dan Park, 2022).

Belum optimalnya tax buoyancy tersebut mengakibatkan tax ratio Indonesia -yang mayoritas dikontribusikan oleh penerimaan pajak- mengalami tren penurunan. Pasalnya, secara rata-rata kenaikan penerimaan pajak (sebagai angka pembilang kalkulasi tax ratio) lebih kecil daripada kenaikan PDB (sebagai penyebut).

Angka tax buoyancy yang rendah juga mengikis optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi akan berdampak ideal bagi penerimaan pajak. Sebagai ilustrasi, target penerimaan pajak tahun depan berdasarkan APBN 2026 ialah sebesar Rp2.357,7 triliun. Kita asumsikan bahwa penerimaan pajak tahun ini berhasil mencapai outlook yang tertera dalam Laporan Semester I-2025 yaitu sebesar Rp2.076,9 triliun. Dengan demikian, penerimaan pajak harus bertumbuh sebesar 13,52% pada 2026.

Berdasarkan historis rata-rata angka tax buoyancy Indonesia, yaitu antara 0,83 hingga 0,98, maka pertumbuhan ekonomi nominal yang harus dicapai ialah sebesar 13,71% hingga 16,22%. Jika inflasi tahun 2026 yaitu sebesar 2,5% dipertimbangkan, PDB (harga konstan) diharapkan bertumbuh antara 11,21% hingga 13,72%. Suatu angka pertumbuhan PDB yang jelas sangat sulit diraih.

Bagaimana jika logikanya kita balik? Sesuai asumsi dasar makroekonomi APBN 2026, angka pertumbuhan PDB (konstan) dipatok sebesar 5,4%. Dengan demikian, pertumbuhan penerimaan pajak secara nominal hanya berkisar antara 6,58% hingga 7,79%. Akibatnya, target penerimaan pajak tahun depan juga sulit diraih.

Seandainya kita sulit mempercayai tax buoyancy, sejatinya terdapat alternatif pengukuran lainnya yaitu tax elasticity. Perbedaannya, tax elasticity mengasumsikan perubahan yang bersifat otomatis dari pertumbuhan PDB terhadap pertumbuhan penerimaan pajak dengan mengecualikan aspek perubahan kebijakan (automatic stabilizer).

Alasannya, pertumbuhan penerimaan pajak dapat saja bersifat semu karena dipengaruhi oleh kenaikan tarif, objek pajak baru, dan sebagainya. Oleh karena itu, walau memiliki pola yang mirip, angka tax buoyancy umumnya sedikit lebih tinggi daripada tax elasticity (Cornevin, Corrales, dan Angel, 2023). Sayangnya, saat ini studi tax elasticity atas Indonesia belum tersedia.

Selanjutnya, mari kita beralih pada syarat minimum kecukupan penerimaan pajak untuk menjamin pertumbuhan PDB yang kokoh dan berkesinambungan.

Di sinilah kita mengenal konsep growth-maximising tax ratio (GMTR) yang mengukur keberhasilan pemungutan penerimaan pajak yang optimal tapi tetap kondusif bagi ruang terciptanya pertumbuhan ekonomi. Studi yang mencoba menelusuri GMTR sesungguhnya telah dimulai sejak Abad ke-20 (Scully, 1995), tapi kurang mendapat perhatian.

Kehadiran agenda pembangunan global yang tertuang dalam Millenium Development Goals 2000-2015 maupun Sustainable Development Goals 2015-2030 menjadi titik krusial. Kedua agenda global yang ambisius tersebut turut meletakkan peran sentral pajak sebagai penopang pendanaan pembangunan menyelinap dalam benak para pemangku kepentingan. Tanpa upaya mobilisasi penerimaan domestik, akan mustahil bagi suatu negara dapat mencapai titik ideal pembangunan.

Salah satu studi empiris yang ‘berhasil’ menghitung angka tax ratio yang ideal bagi pertumbuhan ekonomi dilakukan Besley dan Persson (2014). Berdasarkan kerangka penelitian tersebut, IMF kemudian merilis publikasi mengenai tax ratio tipping point (Gaspar, Jaramillo, dan Wingender, 2016). Tipping point merupakan angka threshold tax ratio di mana penambahan penerimaan pajak yang melampaui threshold tersebut mampu memberikan dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi.

Studi terhadap 139 negara selama periode 1965-2011 tersebut menemukan angka 12,75% sebagai tipping point. Berbasis tipping point tersebut, IMF kemudian menyarankan target minimim tax ratio yang ideal dan mampu menjamin pertumbuhan PDB yang berkelanjutan sebesar 15%. Rekomendasi angka minimum tax ratio sebesar 15% juga diajukan oleh Choudhary, Ruch dan Skrok (2024).

Apabila dibandingkan dengan kondisi Indonesia, kita sepertinya dihadapkan pada skeptisme. Per 2024, tax ratio Indonesia (diukur berdasarkan total penerimaan pajak, kepabeanan, dan cukai terhadap PDB) hanya mencapai sebesar 10,08%.

Terlepas dari kontroversi dan salah kaprah kalkulasi tax ratio (Vissaro, 2017), sesungguhnya angka 15% tersebut bukan sesuatu yang mustahil, tapi sangat-sangat menantang. Sebagai ilustrasi, IMF (2018) pernah mengkalkulasi tambahan tax ratio dari agenda reformasi pajak di bidang kebijakan dan administrasi di Indonesia sebesar 5,0%. World Bank (2024) juga memberikan estimasi potensi tambahan tax ratio sebesar 6,4% selama mampu menyelesaikan persoalan compliance dan policy gap.

Singkatnya, baik dari perspektif pajak sebagai motor ekonomi ataupun sebaliknya, sepertinya kita membutuhkan effort yang sama-sama ekstra keras.

Tantangan Struktur(al)

Teka-teki ini belum usai. Jangan-jangan bukan soal angka agregat PDB atau pajaknya? Akan tetapi, tersembunyi pada faktor struktural dan karakteristiknya.

Literatur tentang bagaimana situasi ekonomi berperan sebagai penentu penerimaan pajak sudah cukup banyak. Komponen PDB, entah dari sisi pertumbuhan, nilai absolut, hingga angka perkapita, telah terbukti secara empiris sebagai faktor determinan utama. Secara empiris, kian tinggi indikator yang merepresentasikan PDB, kian tinggi pula potensi penerimaan pajak (Bahl, 1971; Bird, Martinez-Vazquez, dan Torgler, 2008).

Lebih lanjut, berbagai akademisi juga kerap meninjau lebih dalam mengenai struktur pembentuk PDB. Daya dorong terhadap penerimaan pajak akan tergantung dari komposisi sektor yang menunjang perekonomian, pertumbuhan lapangan usahanya, serta nilai tambahnya. Masing-masing punya pengaruh yang bervariasi.

Sebagai contoh, dominasi sektor pertanian umumnya terbukti bersifat negatif terhadap penerimaan pajak, sedangkan industri manufaktur bersifat positif (Fenochietto dan Pessino, 2013). Pasalnya, kedua sektor tersebut memiliki karakter nilai upah, sifat kegiatan usaha (formal dan nonformal), hingga tantangan pemajakan yang berbeda pula (Kristiaji, 2013; Gupta, 2007). Selain pertanian, sektor jasa dan konstruksi juga dianggap sebagai hard to tax sector sehingga berpengaruh negatif bagi penerimaan pajak (Jewell, Flanagan dan Cattell, 2005).

Aspek struktur PDB juga dipengaruhi oleh sejauh mana kontribusi sektor komoditas -khususnya pertambangan dan migas- bagi penerimaan pajak. Ketergantungan yang relatif besar terhadap komoditas tidak terbarukan kerap menciptakan fenomena kutukan sumber daya alam. Penerimaan sumber daya alam yang relatif ‘mudah’ menimbulkan keengganan bagi pemerintah untuk menata dan memobilisasi penerimaan dari pajak (Ndikumana dan Abderrahim, 2010). Kecenderungan timbulnya enclave economy, melemahnya kontrak fiskal, korupsi, dan tata kelola buruk di sektor sumber daya alam dipercaya membuat penerimaan pajak yang melemah atau stagnan (Frankel, 2012).

Karakteristik ekonomi lainnya yang perlu jadi perhatian adalah kinerja perdagangan internasional, ketimpangan, dan aspek ketenagakerjaan.

Studi yang dilakukan oleh Le, Moreno-Dodson, dan Bayraktar, (2012) menunjukkan bahwa faktor openess (rasio jumlah ekspor dan impor terhadap PDB) memberikan kausalitas positif bagi penerimaan. Selain menunjukkan keterbukaan dan keikutsertaan dalam perekonomian global, faktor tersebut turut menciptakan peluang adanya penerimaan dari pemungutan perdagangan internasional yang besar. Akan tetapi, kian terbukanya suatu negara turut menciptakan peluang dari perpindahan dan/atau penggerusan basis pajak (Keen dan Mansour, 2010).

Di sisi lain, ketimpangan berdampak negatif bagi penerimaan pajak. Ekonomi yang terkonsentrasi pada kelompok kaya dapat berdampak bagi agenda optimalisasi penerimaan pajak. Terlebih mereka merupakan kelompok yang memiliki akses lebih baik terhadap perencanaan pajak, pasar keuangan internasional, akses terhadap kekuatan politik, dan sebagainya (Farman, Khairani, dan Mukarromah, 2015).

Ketimpangan dapat pula menciptakan ketergantungan pada basis pajak tertentu (Alonso dan Garcimartin, 2011). Selain berdampak bagi kerapuhan sumber pendapatan negara, ketimpangan dapat menciptakan keberpihakan agenda fiskal pemerintah yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Di kemudian hari, hal tersebut justru menimbulkan tax morale dan partisipasi yang rendah dari mayoritas masyarakat

Terkait ketenagakerjaan, isunya bukan hanya tingkat pengangguran atau labor force participation rate. Di dalamnya kita akan menemukan hal yang kompleks dan berdampak krusial bagi penerimaan pajak. Misalkan, dominasi pekerja tidak tetap dan pekerja sektor rumah tangga, fenomena digital nomad, partisipasi pada underground economy, hingga merebaknya jenis pekerjaan nonstandar. Seluruh hal tersebut nantinya akan berdampak bagi desain model pemajakan yang efektif, upah yang bervariasi, hingga penentuan status residen.

Mari kita lihat Indonesia. Perekonomian Indonesia dapat dinyatakan relatif stabil dengan catatan rata-rata pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%. Akan tetapi, ekonomi kita jangan-jangan tidak baik-baik saja karena terdapat permasalahan struktural.

Sebagai contoh, gejala deindustrialisasi. Kontribusi PDB dari sektor manufaktur mengalami penurunan tajam. Pada tahun 2000, kontribusi sektor ini mencapai 27,75% dan pada tahun 2024 menyusut ke angka 18,98%. Pada periode yang sama, trade openess kita juga mengalami penurunan dari 71,44% ke 42,57% (BPS, 2025).

Topik lain yang tak kalah penting ialah ketergantungan dari sumber daya alam, ketimpangan yang kian membesar, tumbuhnya pekerja informal, serta turunnya jumlah kelas menengah. Kesemuanya tentu akan berdampak bagi tidak optimalnya efek pengganda pertumbuhan ekonomi terhadap penerimaan pajak.

Selanjutnya, apakah masalah struktur pajak juga memiliki keterbatasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi?

Diskusi dan penelitian mengenai hal tersebut pada dasarnya berangkat dari kerangka pemikiran adanya sifat distorsi dari pajak terhadap pertumbuhan ekonomi (Cashin, 1995; Easterly dan Rebelo, 1993). Sifat distorsi tersebut terentang dari konsepsi deadweight loss dan tergerusnya prinsip efisiensi, berkurangnya disposable income, hingga pengaruhnya terhadap labor supply.

Meskipun demikian, penerimaan pajak tetap merupakan sumber pendanaan yang dibutuhkan. Jalan tengahnya adalah memilih jenis pajak yang relatif ‘bersahabat’ bagi perekonomian sebagai tumpuan pendapatan negara. Oleh karena masing-masing jenis pajak memiliki derajat distorsi yang berbeda-beda, pemerintah seharusnya melakukan perubahan (shifting) dari ketergantungan atas pajak yang bersifat distortif -misalkan pajak penghasilan- menjadi relatif netral/non-distortionary -misalkan pajak berbasis konsumsi-. (Kneller, Bleaney, dan Gemmell, 1999).

Hingga saat ini, telah terdapat berbagai studi empiris yang telah dilakukan untuk menguji jenis pajak berdasarkan tingkat distorsinya bagi ekonomi. Sebagai temuan umum, urutan jenis pajak dari yang paling distortive ke less distortive adalah: pajak penghasilan (PPh) badan, PPh orang pribadi, pajak berbasis konsumsi, dan pajak berbasis properti (Arnold, 2008; Cornforth, 2024; Johanssson et al, 2008).

Sebagai ilustrasi, studi yang dilakukan Lee dan Gordon (2005) terhadap 70 negara selama kurun waktu 1970-1997 memperlihatkan bahwa adanya penurunan sebesar 10 poin dari tarif PPh badan berkaitan dengan kenaikan PDB sebesar 1% hingga 2%. Gemmell, Kneller, dan Sanz (2011) memperlihatkan bahwa pilihan untuk memperlebar defisit bahkan memiliki dampak distorsi lebih kecil terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimbang mengoptimalkan jenis pajak yang bersifat distortif.

Satu hal yang pasti, (perubahan) struktur penerimaan pajak kian relevan untuk diperhatikan. Studi yang dilakukan Vazquez (2023) terhadap 20 negara OECD memperlihatkan bahwa pergeseran 1% kontribusi penerimaan berbasis penghasilan kepada pajak berbasis konsumsi berkorelasi positif sebesar 0,1%-0,2% terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika sebaliknya yang terjadi, pertumbuhan ekonomi akan tereduksi. Selain itu, terdapat kemungkinan derajat distorsi tiap jenis pajak bervariasi antarnegara sehingga membutuhkan penelaahan secara kasuistik (McNabb, 2018).

Berdasarkan pola umum derajat distorsi jenis pajak yang telah disebutkan sebelumnya, terselip risiko bahwa struktur penerimaan pajak kita belum sepenuhnya ramah terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertama, mayoritas penerimaan kita jelas didominasi oleh PPh. Selama 2005-2024, kontribusinya rata-rata mencapai 48,3% dari total penerimaan pajak. Kedua, PPh badan merupakan pos penyumbang penerimaan kedua tertinggi setelah PPN dalam negeri. Selama 2005-2024, kontribusi PPh badan ialah rata-rata mencapai 18,6%.

Khusus bagi Indonesia, seyogianya kita pun perlu meninjau penerimaan pajak yang berbasis mekanisme withholding tax (WHT). Sebagai ilustrasi, penerimaan pajak Indonesia yang melalui mekanisme WHT adalah rata-rata sebesar 31,4% selama 2005-2024. Angka tersebut merupakan gabungan dari PPh Pasal 21, 22, 23, 26, dan PPh final.

Jika seandainya pos penerimaan WHT ditambahkan dengan pos PPN dan PPnBM, kita akhirnya dapat menghitung seluruh jenis pajak yang dikategorikan sebagai legal remittance responsibility (Milanez, 2017). Kelompok ini merupakan jenis pajak yang administrasinya dilakukan melalui skema pemotongan dan pemungutan serta disetorkan dan dilaporkan oleh wajib pajak lain. Selama periode 2005-2024, rata-rata kontribusinya bagi total penerimaan pajak mencapai 72,1%

Relatif mudahnya penerimaan pajak dari mekanisme ini harus diakui kerap menyebabkan dorongan dari pemerintah untuk terus mempertahankan, memperluas objek, serta menaikkan tarifnya (Shome, Aggrawal, dan Singh, 2007). Namun demikian, kita perlu mencermati dampaknya bagi biaya kepatuhan, ketidakpastian, sanksi yang tidak proporsional, maupun persoalan cash flow (Darussalam, 2018; Darussalam, et al, 2025).

Sebagai pengingat, dampak penerimaan pajak terhadap pertumbuhan akan sangat dipengaruhi oleh faktor transmisinya yaitu belanja pemerintah (government spending). Pemungutan pajak yang optimal tanpa alokasi belanja yang tepat sasaran dan tepat guna tentu tidak akan mendorong pertumbuhan PDB dengan optimal (Alinaghi and Reed, 2021). Singkatnya, bagaimana uang pajak akan dipergunakan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan.

Sebagai penutup, daya dorong pertumbuhan ekonomi terhadap pajak ataupun sebaliknya hanya dapat kian optimal selama kita juga turut membenahi struktur dan karakteristiknya. Tanpa hal tersebut, kita hanya akan menunggu Godot.

Penutup

Pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak saling berhubungan. Namun, hubungannya bersifat elusif (sukar dipahami) dan bersyarat. Sifat elusif tersebut tampak dalam pemilihan titik awal (starting point) untuk mencapai titik optimal dari keduanya: pertumbuhan ekonomi atau penerimaan pajak terlebih dahulu? Bahkan, ketika kita sudah tepat memilih area yang menjadi starting point, hasilnya masih sulit diprediksi dan tidak bersifat otomatis.

Di sisi lain, hubungan bersyarat menyiratkan adanya berbagai elemen tambahan yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan. Fokus pada pertumbuhan PDB tanpa membenahi struktur ekonomi tidaklah cukup. Fokus untuk meningkatkan penerimaan tanpa meninjau ulang struktur pajak belumlah menyelesaikan masalah. Mengutip istilah klasik dari ilmu ekonomi, necessary but not sufficient.*

*Artikel ini juga termuat dalam buku ke-40 DDTC berjudul Gagasan Reformasi Perpajakan: Jaga Ekonomi, Jamin Penerimaan yang terbit pada Desember 2025. Untuk mengakses versi PDF dari buku tersebut, klik di sini. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.