Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers APBN Kita. (foto: Twitter Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Kinerja fiskal per akhir Februari memberi sinyal terbukanya risiko shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – penerimaan pajak pada tahun ini. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (20/3/2019).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan realisasi penerimaan pajak di akhir Februari mencapai Rp160,85 triliun. Angka ini tumbuh 4,66% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Capaian tersebut tercatat melambat karena pada tahun sebelumnya pertumbuhan tercatat 13,71%.
Dia beralasan salah satu penyebab melambatnya kinerja penerimaan pajak pada dua bulan pertama tahun ini adalah terkontraksinya realisasi penerimaan dari pos pajak pertambahan nilai (PPN). Menurutnya, performa penerimaan PPN lebih banyak dipengaruhi kebijakan restitusi dipercepat.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji menilai kinerja penerimaan pajak pada Januari—Februari 2019 membuat risiko shortfall semakin terbuka. Apalagi, penerimaan dari beberapa pos yang moncer di pada tahun lalu tidak terjadi lagi pada 2019.
“Penyebab melambatnya kinerja tersebut disebabkan oleh kinerja negatif PPN dan PPnBM serta PPh nonmigas dari sektor manufaktur. Padahal kita tahu bahwa kedua sektor tersebut kinerjanya sangat baik pada tahun lalu,” katanya.
Selain itu, beberapa media nasioal juga menyoroti terkait aturan pemajakan atas transaksi e-commerce. Pemerintah mengaku masih akan tetap memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.210/PMK.010/2018 pada 1 April 2019.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Performa penerimaan pajak dua bulan pertama tahun ini dipengaruhi oleh kinerja dari sektor manufaktur dan perdagangan yang tercatat melambat. Hingga akhir Februari tahun ini, pertumbuhan penerimaan pajak kedua sektor ini sebesar 11,3% dan 1,7%. Pada periode yang sama tahun lalu penerimaan kedua sektor tersebut mampu tumbuh 13,2% dan 32,5%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lagi-lagi mengklaim perlambatan penerimaan pajak dari kedua sektor tersebut lebih banyak dikarenakan kebijakan restitusi dipercepat. Menurutnya, banyaknya permintaan restitusi secara otomatis menggerus penerimaan.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan otoritas akan melihat perkembangan kinerja penerimaan dan permintaan restitusi hingga Mei 2019. Dia masih cukup yakin performa akan kembali normal setelah periode tersebut.
Menurutnya, lonjakan permintaan restitusi tidak akan berlanjut pada bulan-bulan mendatang. Namun, jika kondisinya tetap sama, DJP akan melakukan berbagai macam strategi untuk mengamankan penerimaan pajak pada tahun ini. “Soal strateginya, nanti kami lihat ke depan,” katanya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan pola realisasi per bulanan di awal tahun ini masih selaras dengan tahun-tahun sebelumnya. Umumnya, pada awal tahun, pola realisasi per bulanan hanya sekitar 5% dari target dan itu terkonfirmasi pada dua bulan pertama tahun ini.
Sejauh ini, DDTC Fiscal Research memproyeksi penerimaan pajak pada 2019 tidak sebaik tahun lalu. Berdasarkan outlook per November 2018, pertumbuhan penerimaan pajak 2019 hanya akan berkisar antara 9%—12% atau di bawah tahun lalu yang mencapai 14%.
“Ini juga jauh berada di bawah target pertumbuhan yang mencapai 19,8%. Dengan demikian, shortfall masih membayangi,” jelas Bawono.
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) melihat belum ada perubahan yang signifikan dari aktivitas impor – termasuk dari transaksi e-commerce – hingga saat ini. DJBC memproyeksi implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.210/PMK.010/2018 pada 1 April 2019 akan memberi dampak.
“Masih normal. Begitu sudah diberlakukan, baru akan terlihat penurunan,” ujar Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC Syarif Hidayat.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin menyatakan sudah bekerjasama dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemantauan objek pajak. Pemantauan ini dilakukan dengan memanfaatkan layanan citra satelit milik Lapan
Kerja sama ini juga sudah dilakukan dengan DJP sejak beberapa tahun terakhir. Dengan citra satelit, otoritas bisa mengetahui adanya sejumlah objek pajak di daerah-daerah di Indonesia. (kaw)