CUKAI HASIL TEMBAKAU

Indef: Simplifikasi Tarif Cukai Seharusnya Lewat PP

Redaksi DDTCNews
Senin, 13 Agustus 2018 | 18.51 WIB
Indef: Simplifikasi Tarif Cukai Seharusnya Lewat PP

JAKARTA, DDTCNews – Institute for Development of Economics and Finance mendesak pemerintah untuk mengatur simplifikasi tarif cukai rokok dengan payung hukum setingkat peraturan pemerintah.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan simplifikasi tarif cukai yang hanya diatur melalui peraturan menteri keuangan (PMK) sangat riskan, mengingat adanya sensitivitas pada struktur industri rokok.

"Adanya roadmap ini masih cukup, tapi dasarnya masih parsial. Artinya baru pertimbangan ke arah peningkatan penerimaan cukai. Sementara, pertimbangan terhadap keberlangsungan industri dan penciptaan lapangan kerja belum dimasukkan,” katanya, Senin (13/8/2018).

Selain memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi, roadmap yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP) juga akan membuka keterlibatan kementerian teknis terkait. Kementerian itu a.l. Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan.

Dengan demikian arah kebijakan tidak didasarkan hanya pada pendapatan negara, melainkan juga keberlangsungan industri dan perekonomian secara menyeluruh.

Seperti yang diketahui, dalam PMK No.146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, pemerintah tidak hanya mengatur soal besaran tarif. Dalam beleid itu, Otoritas Fiskal mengamanatkan simplifikasi layer penerapan cukai atas produk rokok.

Dalam aturan tersebut, proses penyederhanaan akan dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 2018-2021 untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Penyederhanaan ini, lanjut Enny, berpotensi mengubah struktur industri rokok. Penggabungan struktur tarif cukai diklaim akan berdampak langsung pada struktur persaingan dan keberlanjutan industri, terutama golongan menengah kecil. Simplifikasi membuka ruang untuk akuisisi atau merger bisnis untuk keberlangsungan usaha.

“Penggabungan SKM golongan IIA dan IIB di 2019 tentu berimplikasi langsung bagi golongan IIB. Dimana golongan IIA yang notabene pabrik dengan skala yang lebih besar. Pada 2016 terdapat 148 pabrik golongan IIB sedangkan golongan llA hanya 84 pabrik,” jelasnya. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.