PAJAK EKONOMI DIGITAL

Soal Pajak E-Commerce, Ini Usulan CEO Bukalapak

Redaksi DDTCNews
Rabu, 08 November 2017 | 11.40 WIB
Soal Pajak E-Commerce, Ini Usulan CEO Bukalapak

JAKARTA, DDTCNews – Chief Executive Officer (CEO) Bukalapak Achmad Zaky berharap agar pemerintah menetapkan tarif pajak e-commerce tidak sampai mencapai 5% atau bahkan 10%.

Menurutnya, pengenaan pajak di kisaran angka tersebut berpotensi merugikan para pelaku industri digital yang berkecimpung di sektor formal. Akibatnya, mereka bisa memilih mengalihkan bisnisnya ke sektor informal, yakni melakukan aktivitas perdagangan online via media sosial.

“Kalau itu betul (pajak 5%-10%), maka akan sangat merugikan bagi pemain (bisnis) digital. Karena kita ini kompetitornya (para pedagang online) di platform seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Kalau kita dikenain pajak, maka orang akan lari ke sana (sektor informal),” kata Zaky di Jakarta pada Selasa (7/11).

Oleh sebab itu, menurutnya, sebelum pajak e-commerce diterapkan, pemerintah lebih baik memaksimalkan sosialisasi soal pentingnya kepemilikan NPWP (nomor pokok wajib pajak) bagi individu di kalangan pelaku bisnis informal.

Zaky memperkirakan jumlah pelaku bisnis e-commerce di sektor informal masih banyak yang belum memiliki NPWP. Dengan kepemilikan NPWP tersebut, dia berpendapat, rencana pemerintah dalam menerapkan pajak e-commerce dapat berjalan lebih maksimal.

“Mereka (pelaku bisnis e-commerce informal) NPWP saja nggak punya, 99% tidak punya NPWP. Pertama, ya mengajak mereka secara persuasif dan sadar kalau NPWP penting. Mudah-mudahan ke depannya ke arah sana,” jelasnya.

Zaky menyatakan hingga kini belum mengetahui arah kebijakan pemerintah terkait dengan pajak e-commerce. Apalagi, muncul kabar, bahwa rencana itu sedang dikaji lagi oleh pemerintah. Tapi, dia menegaskan sikap perusahaannya terkait pengenaan pajak baru ini selama ini mengikuti pendapat Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA).

Meskipun tidak menolak secara tegas pajak e-commerce, dia mengingatkan fenomena perubahan pola konsumsi masyarakat belakangan ini, yakni dari konvensional ke daring, harus dilihat secara multidimensi.

“Memang ada industri yang terkena dampak online. Untuk barang-barang tersier seperti handphone dan jam tangan, cukup signifikan perpindahannya (pola konsumsi),” kata Zaky.

Akan tetapi, menurut Zaky, proses digitalisasi di sektor perdagangan itu masih sebatas terjadi pada penjualan barang-barang yang tidak termasuk dalam kebutuhan primer. “Kalau untuk beras atau daging (kebutuhan pokok), menurut saya (transformasi ke online) nggak pengaruh,” pungkasnya. (Amu)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.