Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Sistem PPh orang pribadi yang saat ini berlaku di Indonesia masih memuat skema regresif. Hal ini dinilai perlu direvisi melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan klausul pengecualian pajak atas natura saat ini cenderung dinikmati oleh mereka yang kaya.
"Sebagian besar belanja pajak PPh OP kita dimanfaatkan oleh segmen wajib pajak yang relatif berpenghasilan tinggi," ujar Oka dalam webinar Membidik Perubahan Kebijakan PPN dan PPh dalam RUU KUP 2021 yang diselenggarakan Tax Centre UI, Jumat (10/9/2021).
Berdasarkan paparan Ditjen Pajak (DJP) dalam rapat bersama Komisi XI pada Juli 2021, total belanja pajak PPh orang pribadi yang timbul akibat pengecualian natura dari objek pajak mencapai Rp5,1 triliun pada 2016 hingga 2019.
Selama ini, natura atau fringe benefits tidak dihitung sebagai biaya bagi pemberi kerja. Sementara bagi pekerja, natura tidak termasuk sebagai objek pajak. Pengecualian natura dari objek pajak justru dinikmati oleh karyawan-karyawan kelas atas seperti direktur dan komisaris.
Akibatnya, hal ini menimbulkan ketidakadilan horizontal dan membuka ruang untuk melakukan tax planning, mengingat tarif PPh badan lebih rendah dibandingkan dengan tarif tertinggi PPh orang pribadi.
Melalui RUU KUP, ketentuan UU PPh mengenai natura akan direvisi. Nantinya pemberian natura akan menjadi penghasilan bagi penerimanya dan akan menjadi biaya bagi pemberi kerja.
Selain mengubah ketentuan mengenai natura, pemerintah juga menambah lapisan penghasilan kena pajak dari yang saat ini sebanyak 4 layer menjadi 5 layer penghasilan kena pajak dengan tarif baru sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar. (sap)