RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak atas Penentuan Status BUT Wajib Pajak

Hamida Amri Safarina
Senin, 20 April 2020 | 18.23 WIB
Sengketa Pajak atas Penentuan Status BUT Wajib Pajak

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penentuan status Bentuk Usaha Tetap (BUT) wajib pajak. Perlu dipahami bahwa wajib pajak merupakan kantor perwakilan dagang dari suatu perusahaan yang berkedudukan di Jepang, sebut saja X Co.

Wajib pajak menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan hanya sebatas riset pemasaran, bukan promosi produk. Pihaknya hanya melakukan kegiatan yang bersifat menunjang dan persiapan, serta sementara. Adapun berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Jepang, kegiatan penunjang dan persiapan tidak tergolong sebagai BUT.

Otoritas pajak tidak setuju dengan pernyataan wajib pajak tersebut. Menurut otoritas, wajib pajak telah memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Aktivitas yang dilakukan wajib pajak berupa promosi tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penunjang dan persiapan saja. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, wajib pajak seharusnya tergolong BUT dari X Co.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung ­­­­menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam putusan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat menerima dalil otoritas pajak yang menyatakan wajib pajak melakukan kegiatan memperkenalkan, memajukan, dan memasarkan barang-barang dari X Co.

Dalam laporan bulanan, tidak ada kegiatan promosi yang dilakukan wajib pajak. Laporan tersebut hanya memuat kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia serta potensi persaingan yang ada. Dalam persidangan telah terbukti bahwa usaha pemasaran produk X Co kepada konsumen akhir di Indonesia sudah dilakukan oleh perusahaan lainnya. Dengan demikian, wajib pajak tidak dapat dikategorikan sebagai BUT dari X Co.

Oleh sebab itu, tidak tepat apabila wajib pajak dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 15 final. Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak.

Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No.Put.74041/PP/M.VIA/27/2016 tertanggal 6 September 2016, otoritas pajak mengajukan Permohonan PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 22 Desember 2016.

Pokok sengketa atas perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 15 final masa pajak Januari sampai dengan Desember 2004 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas Putusan Pengadilan Pajak. Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut keliru karena tidak sesuai fakta hukum dan peraturan perpajakan yang berlaku.

Pemohon PK berdalil bahwa Termohon PK memiliki kantor manajemen tetap di Indonesia.  Selain itu, aktivitas Termohon PK adalah mempromosikan produk dari X Co. Bahkan, aktivitas promosi tersebut telah dijalankan selama bertahun-tahun. Dengan begitu, kegiatan promosi tidak dapat dikategorikan hanya sebagai penunjang dan sementara saja.

Melihat fungsi, tugas, dan aktivitas, dapat diketahui Termohon PK merupakan kantor perwakilan dagang yang termasuk dalam definisi BUT. Kondisi Termohon PK di atas juga sudah sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) OECD Model terkait karakteristik BUT.

Dengan adanya status BUT tersebut, pemerintah Indonesia berhak memungut pajak kepada Termohon PK. Omzet yang diperoleh X Co dari kegiatan ekspornya ke Indonesia ditetapkan menjadi objek PPh Pasal 15 final bagi Termohon PK.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 634/KMK.04/1994 juncto Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 667/PJ/2001, penghasilan wajb pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dapat dipungut pajak. Dalam P3B Indonesia dan Jepang, branch profit tax dipungut pajak sebesar 10%.

Sebaliknya, Termohon PK berpendapat bahwa pihaknya merupakan kantor perwakilan dagang asing dari X Co yang berkedudukan di Jepang. Termohon telah memiliki izin kegiatan kantor perwakilan asing dari BKPM.

Pihaknya hanya melakukan kegiatan yang bersifat menunjang dan persiapan. Mengacu pada P3B antara Indonesia dan Jepang, perusahaan yang melakukan kegiatan penunjang dan persiapan tidak tergolong sebagai BUT. Atas transaksi ekspor yang dilakukan X Co ke wilayah Indonesia tidak terutang PPh Pasal 15 final bagi Termohon PK.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MENURUT Mahkamah Agung, Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah benar dalam menerapkan hukum. Terdapat dua alasan atas pertimbangan Mahkamah Agung tersebut. Pertama, koreksi Pemohon PK hanya berdasarkan data dari perusahaan Indonesia serta data pertukaran data Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai saja. Data yang diperoleh tersebut tidak berdasarkan keadaan sebenarnya.

Kedua, kegiatan yang dilakukan Termohon PK terbukti hanya berupa riset pemasaran, bukanlah promosi produk. Atas kegiatan tersebut, tidak tepat apabila Termohon PK dikategorikan sebagai kantor perwakilan dagang asing yang menjadi objek PPh Pasal 15 final. Oleh karena itu, koreksi DPP PPh Pasal 15 tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan dan dinyatakan ditolak. Pemohon PK sebagai pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara. (Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.