Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews—Rencana pemerintah pusat menarik kewenangan penetapan tarif pajak dan retribusi daerah dari pemerintah daerah melalui RUU Omnibus Law tengah mendapatkan perhatian publik.
Ada yang mendukung, tetapi ada juga yang tidak sepakat. Namun yang pasti, pemerintah pusat perlu berhati-hati terhadap rencana itu agar tidak justru mengganggu roda pemerintah daerah yang akan berjalan.
Untuk menggali lebih jauh perihal kewenangan penetapan tarif pajak daerah itu, DDTCNews mewawancarai Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, berikut petikannya:
Bagaimana pandangan Anda mengenai RUU Omnibus Law perihal pajak daerah?
Kalau melihat ini, tergantung perspektifnya. Kalau perubahan yang terkait dengan kebijakan umum tentang pajak daerah itu bisa dilihat dari pemerintah pusat, biasanya soal stabilitas fiskal, kepastian.
Kalau daerah, tentu dari sisi penerimaan. Sedangkan pengusaha, dari sisi sejauh mana fiskal itu kontribusi pada pembangunan, stimulus ekonomi, dan sebagainya.
Tetapi kalau melihat rencana sekarang, tampaknya Omnibus Law ini lebih untuk mendorong kepastian. Jadi tarif dibuat fix. Fix rate yang itu sesungguhnya agak keluar dari semangat otonomi.
Karena otonomi kan memberikan diskresi positif kepada daerah. Dibuat range tarif minimal-maksimal, itu poinnya sederhana agar daerah bisa menentukan mana pajak yang dibuat tinggi dan mana yang rendah, sehingga penerimaan bisa maksimal.
Misalnya pajak hotel, Pemda pasti mengambil yang maksimal. Jarang sekali minimal. Tapi kalau pengurangan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) di Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pasti ambil minimal.
Makanya, hampir semua Pemda itu Rp60 juta, kecuali Jakarta dan Surabaya yang Rp70 juta dan Rp80 juta.
Ini enggak apa-apa menurut saya. Yang ditetapkan pemerintah dalam omnibus law ini sebenarnya fix rate-nya berapa sih? Misalnya 10% itu yang dipatok, tetapi tetap diberi ruang untuk Pemda.
Mengapa dipatok hanya batas atas atau batas bawah?
Ini agar Pemda bisa berpikiran terbuka. Pemda yang mau berkompetisi dengan daerah lain, dia akan menggunakan instrumen pajak retribusi ini untuk insentif dan berkompetisi.
Itu penting. Jangan semua didorong serba pasti dan dipatok, tapi pembelajaran di daerah tidak ada.
Yang penting, kira-kira hitungan secara teknis keekonomian, berapa rate case-nya. Itu yang dikunci sebagai rate maksimal atau minimalnya. Selebihnya, biarkan saja. Yang penting dipatok juga, misalnya pajak hotel, hitungan seperti apapun 10 %.
Ya sudah, 10% itu sebagai rate maksimal. Tapi bukan berarti tidak boleh di bawah itu. Kan ada Pemda yang berpikiran menjadikan fiskal sebagai instrumen dia untuk menarik investasi.
Demikian juga NJOPTKP misalnya. Rp60 juta itu enggak berjalan. Semua Pemda mengambil itu. Seharusnya kita naikkan, katakanlah Rp75 juga nilai pengurangnya.
Tapi tidak dipatok Rp75 juta saja, tetap diberi keleluasaan untuk Pemda lebih tinggi, katakanlah Rp80 juta atau Rp100 juta untuk nilai pengurangnya. Itu kan bagus, untuk pembelajaran dan mendorong kompetisi antardaerah.
Kita tidak bisa semuanya juga menutup diskresi positif yang justru semangat adanya pemerintahan di level daerah.
Apakah kewenangan tarif pajak dari daerah ke pusat ini bisa disebut kemunduran desentralisasi fiskal?
Kalau pemerintah memahami benar perpajakan di era desentralisasi, seharusnya dia tidak akan menempatkan pajak daerah sama dengan pajak pusat. Kalau pajak pusat kan wajib, bahkan dipaksakan, untuk mengisi pundi negara.
Tapi pajak daerah, tidak bisa orientasi untuk mengisi Pemda atau APBD. Tidak juga seperti retribusi yang langsung. Dia di tengah-tengah. Orientasinya kombinasi, untuk memastikan pajak ini digunakan untuk membiayai sektor mana pajak itu berasal.
Hubungan pajak yang dipungut dengan manfaat yang diperoleh oleh masyarakat, tidak harus oleh si pembayar pajak secara khusus, tapi di sektor usahanya, bisa wilayah tertentu di mana pajak itu berasal.
Misalnya pajak penerangan jalan, harus bisa dipastikan bahwa lokasi ke perusahaan di mana pajak itu berasal, harus ada penerangan. Jangan kemudian enggak ada yang dirasakan masyarakat.
Semangat otonomi kan semangat agar masyarakat merasakan kehadiran negara secara nyata.
Kondisi lingkungan di setiap daerah berbeda-beda. Apakah kewenangan penentuan batas atas dan batas bawah tarif pajak daerah juga dibuat seragam?
Setiap daerah berbeda-beda. Misalnya kota dan kabupaten. Kabupaten mana yang diandalkan? Kota yang mana? Kalau pajak penerangan jalan mungkin di kota banyak, jadi andalan.
Ini semua harus dilihat. Termasuk wacana untuk penyesuaian IMB. Bukan penghapusan. Yang tadinya izin, jadi pemenuhan standar. Itu kan pendapatan daerah.
Kalau diturunkan derajatnya dari izin menjadi pemenuhan standar mendirikan bangunan, apakah bisa menjadi basis pengenaan pajak? Ini yang perlu dilihat.
Jalan yang kita siapkan agar daerah tidak kehilangan pendapatannya itu apa? Apakah jenis layanan yang baru bisa dijadikan basis pengenaan retribusi? Ini perlu disimulasikan.
Jika disimpulkan, tampaknya pengalihan kewenangan tarif pajak daerah dari pemda ke pusat tidak begitu urgensi?
Memang semangat besar pemerintah dalam omnibus law untuk perpajakan ini untuk memberi kepastian dan kemudahan berusaha. Tapi sisi Pemda juga perlu dilihat. Itu yang sampai hari ini kita belum mendapat peta yang jelas.
Kalau dibuat klasifikasi, pemda, kota dan kabupaten bagaimana? Derajat kemandirian fiskal berbeda-beda. Ada daerah yang derajat kemandirian fiskalnya jauh di bawah standar 20%. Ada yang cuma 5% ada yang cuma 3%, mungkin 10%, sebagian belasan persen. Ini bagaimana? Apakah ada klasifikasi atau seperti apa?
Tapi hari ini, kan, tekanannya lebih pada sisi dunia usaha mendapatkan kepastian. Di sisi Pemda, apa? Ada tiga perspektif yang harus dilihat: pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pengusaha lokal.
Jika tarif pajak daerah ditarik pemerintah pusat, apakah serta merta menarik investasi lebih banyak?
Sebenarnya, kalau kami, dari proses di lapangan, ini isu nomor dua, bukan yang utama. Kalau ditanyakan pada pengusaha, buat mereka bukan soal uangnya. Pemerintah mungkin berpikir pengusaha enggak ada uang untuk membayar pajak.
Jadi karena dia dikenai pajak tinggi, enggak (tertarik investasi) enggak begitu. Ya ada saja yang seperti itu.
Tapi yang terpenting buat pengusaha adalah, ketika saya membayar pajak, saya mendapat apa dong? Itu jauh lebih penting, karena aspek pelayanan dan pemungutan itu satu kesatuan dalam paradigma pajak di era desentralisasi.
Berbeda dengan pajak pusat, orang membayar PPh, orang tidak akan berpikir mendapatkan apa. Kecuali nanti ada dampak jangka panjang yang lebih makro.
Yang kami minta sesungguhnya adalah, kalau pusat mau buat sesuatu, harus melibatkan stakeholder di daerah, pemerintah daerah dan pengusaha daerah. Jangan hanya di level nasional. (Rig)