Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
DITEMUI wartawan di kawasan DPR pada pertengahan April 2016, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro dengan tegas menyatakan akan mengajukan usulan pengenaan cukai plastik kepada DPR. Waktu itu, fenomena plastik berbayar mulai marak diterapkan di beberapa daerah.
Usulan plastik sebagai barang kena cukai (BKC) pada gilirannya menggantikan rencana awal, yakni minuman bersoda. Maklum, pembahasannya sejak 2014 belum menemukan titik terang. Sempat terhenti pula karena Kementerian Kesehatan tidak memberikan lampu hijau.
Alhasil, APBN Perubahan 2016 disahkan dengan tambahan target penerimaan cukai plastik—masuk dalam pos cukai lainnya—senilai Rp1 triliun. Sebagai pengingat, pengesahannya bersamaan dengan UU Pengampunan Pajak pada rapat paripurna DPR 28 Juni 2016.
Sayangnya, target yang telah masuk dalam APBN itu tidak ada realisasinya hingga akhir 2016. Rencana pengenaan cukai pada plastik hanya berakhir pada diskusi tanpa eksekusi. Suara-suara penolakan dari pelaku usaha pun sesekali muncul.
Dengan nahkoda baru Kemenkeu, Sri Mulyani Indrawati, pemerintah dan DPR kembali memasukkan target penerimaan cukai plastik pada APBN 2017 senilai Rp1,6 triliun, APBN 2018 senilai Rp500 miliar, dan APBN 2019 senilai Rp500 miliar. Sayangnya, hasilnya tetap nihil.
Saking lamanya proses tersebut, tahun lalu, pemerintah ingin mempermudah proses penambahan BKC baru. Upaya ini masuk ke RUU Omnibus Law Perpajakan. UU Cukai saat ini mewajibkan pemerintah menyampaikan kepada DPR jika ingin menambah atau mengurangi objek cukai.
Dengan RUU Omnibus Law Perpajakan, pemerintah ingin menghilangkan prosedur itu. Penambahan atau pengurangan BKC hanya perlu dilakukan melalui peraturan pemerintah (PP). DPR cukup memberi izin prinsip kepada pemerintah menentukan objek yang akan menjadi BKC.
Sayangnya, rencana itu menguap karena UU Cipta Kerja—yang memasukkan materi RUU Omnibus Law Perpajakan—tidak mengangkut ketentuan tersebut. Prosedur tidak berubah, penambahan atau pengurangan objek cukai harus disampaikan pemerintah ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Namun, pada awal 2020, Komisi XI DPR sudah memberikan persetujuan. Ketua Komisi XI Dito Ganinduto (Fraksi Partai Golkar) mengatakan persetujuan itu masih harus ditindaklanjuti dengan memerinci jenis plastik yang bakal dikenai cukai beserta tarif dan waktu pelaksanaannya.
Komisi XI DPR juga meminta pemerintah menyusun roadmap tentang barang yang ingin dikenakan cukai. Namun, hingga akhir 2020, realisasi penerimaan cukai plastik tetap nihil. Padahal, target sudah dipatok dalam APBN 2020 senilai Rp100 miliar.
Dalam APBN 2021, seakan ingin mencoba peruntungan lagi, target pengenaan cukai produk plastik sudah dipatok senilai Rp500 miliar. Pada awal tahun ini, Menkeu Sri Mulyani juga kembali meminta dukungan penambahan BKC baru.
Sangat Sedikit
MENURUT Sri Mulyani, jumlah BKC di Indonesia masih sangat sedikit dibandingkan dengan negara lain. Padahal, penambahan BKC akan membantu peningkatan penerimaan dan berpotensi mengurangi konsumsi barang yang memberi dampak buruk kepada masyarakat.
Selain kantong plastik, mantan Direktur Manajer Bank Dunia ini juga sempat memaparkan rencana penambahan 2 BKC lainnya, yakni minuman berpemanis dan emisi karbon. Menurutnya, masing-masing cukai itu akan mengurangi risiko diabetes dan melestarikan lingkungan.
“Di banyak negara, barang kena cukai itu bisa mencapai lebih dari 7 bahkan 10 jenis, terutama barang-barang yang dianggap memiliki dampak tidak baik kepada masyarakat," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, akhir Januari lalu.
Harus diakui, jumlah BKC di Indonesia memang masih sangat sedikit. Dalam kajian DDTC bertajuk Komparasi Objek Cukai secara Global dan Pelajaran bagi Indonesia terlihat secara rata-rata di kawasan Asean, ada 11 kategori BKC yang dikenakan. Â
Indonesia menjadi negara di Kawasan Asean yang paling sedikit memiliki objek kena cukai. Hingga saat ini, pemerintah hanya mengenakan cukai pada tiga jenis komoditas, yakni hasil tembakau (HT), etil alkohol (EA), dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA).
Berdasarkan kajian yang disusun B. Bawono Kristiaji dan Dea Yustisia itu, ada sejumlah BKC di kawasan Asean yang belum berlaku di Indonesia. BKC ini adalah kendaraan bermotor, bahan bakar, minuman berpemanis, dan plastik. Hanya Indonesia yang tidak mengenakan cukai atas barang-barang tersebut.
Bagaimanapun, cukai berbeda dengan jenis pajak lainnya. Dalam UU Cukai disebutkan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai setidaknya salah satu dari 4 sifat atau karakteristik.
Pertama, konsumsinya perlu dikendalikan. Kedua, peredarannya perlu diawasi. Ketiga, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Keempat, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Menurut McCarten dan Stotsky (1995), terdapat 4 karakteristik jenis produk dan jasa yang dapat dikenakan cukai. Pertama, proses produksi, distribusi, dan penjualan dapat diawasi secara ketat oleh pemerintah. Hal ini digunakan untuk memastikan rendahnya kemungkinan terjadinya pelanggaran.
Kedua, permintaan bersifat inelastis terhadap harga. Apabila harga naik, penurunan konsumsi akan kurang dari persentase kenaikan harga. Hal ini kemudian berdampak pada kenaikan penerimaan dan hanya menyebabkan distorsi yang rendah di pasar.
Ketiga, produk atau jasa merupakan barang yang dianggap mewah dan bukan merupakan kebutuhan pokok. Keempat, konsumsi atas produk menimbulkan eksternalitas negatif atau biaya sosial.
Berdasarkan pada analisis pola dan tren yang dilakukan di berbagai negara, masih tercantum dalam kajian DDTC, kebijakan cukai sangat bervariatif. Belum ada definisi pasti atas cukai sehingga sangat sulit untuk menggolongkan objek kena cukai.
Terlepas dari belum adanya definisi resmi dan baku, dari kacamata awam, berbagai jenis usulan BKC yang sudah sering didiskusikan pemerintah dan wakil rakyat itu sebenarnya sudah memenuhi karakteristik dalam UU Cukai.
Penerimaan
NARASI yang dominan disampaikan ke publik terkait dengan penambahan BKC baru adalah tujuan pengurangan eksternalitas negatif. Tidak mengherankan. Kendati akan diperhitungkan sebagai bagian dari pendapatan negara, penerapan cukai memang mempunyai tujuan khusus.
Namun, tidak ada salahnya melihat kontribusi penerimaan cukai terhadap pendapatan negara selama ini. Tahun lalu, sesuai dengan dokumen APBN Kita Januari 2021, realisasi sementara penerimaan cukai Rp176,31 triliun. Nilai itu tumbuh 2,3% dibandingkan dengan kinerja tahun sebelumnya Rp172,42.
Penerimaan cukai pada tahun lalu berkontribusi sekitar 13,7%. Tentu jauh lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan pajak. Namun, dalam struktur penerimaan yang menjadi tanggung jawab Ditjen Bea dan Cukai, penerimaan tersebut mengambil porsi sekitar 82,8%.
Perlu diingat pula, penerimaan cukai menjadi pos penerimaan perpajakan, selain bea keluar, yang masih tumbuh positif tahun lalu. Menilik data pada Nota Keuangan APBN 2021, penerimaan cukai periode 2016-2019 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,3% per tahun.
Tetap tumbuhnya penerimaan cukai, bahkan pada masa pandemi Covid-19, mengonfirmasi salah satu karakteristik yang disampaikan McCarten dan Stotsky tadi. Permintaan bersifat inelastis terhadap harga. Apalagi, tarif cukai HT hampir pasti mengalami kenaikan tiap tahunnya.
Tentu saja, dalam konteks penerimaan, kinerja tersebut makin tinggi ketika ada penambahan BKC baru. Atau setidaknya mengurangi beban industri BKC yang sudah ada sebelumnya. Hal ini mengingat selama ini, sekitar 95,9% penerimaan cukai pada 2016—2019 disumbang dari cukai rokok (HT).
Jika hanya bertumpu pada satu BKC tertentu, yang diikuti dengan kenaikan tarif tiap tahunnya, tentu akan ada risiko penyelundupan atau peredaran barang ilegal. Hal ini pada gilirannya akan menjadi bumerang karena menekan penerimaan.
Sifat inelastis bisa jadi ada tetapi konsumsinya meluber ke pasar ilegal. Hal ini yang selalu ditimbang pemerintah dalam menentukan kenaikan tarif cukai. Harga dijaga agar tidak melewati batas atas atau yang sering disebut puncak kurva laffer. Simak ‘Mengurai Kompleksitas Kebijakan Cukai Rokok’.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi juga sering mengatakan pemerintah berupaya menjaga harga tidak terlalu mahal yang berisiko kolapsnya industri. Bagaimana pun, keberlangsungan industri sangat erat kaitannya dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja.
Dari kondisi yang ada, terlihat jelas penambahan BKC baru lebih banyak memiliki efek positifnya. Industri terkait memang pasti akan terdampak. Namun, perlu dipahami kembali tujuan pengenaan cukai itu tadi. Jika pemerintah dan wakil rakyat sudah sama-sama setuju, tunggu apa lagi? (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.