RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak atas Kegiatan Perhotelan yang Bukan Objek PPN

Hamida Amri Safarina
Senin, 25 Mei 2020 | 13.52 WIB
Sengketa Pajak atas Kegiatan Perhotelan yang Bukan Objek PPN

Ilustrasi. (DDTC)

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum tentang kegiatan perhotelan yang bukan merupakan objek pajak pertambahan nilai (PPN).

Wajib pajak berpendapat kegiatan perhotelan tidak termasuk objek PPN, melainkan objek pajak hotel yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Atas kegiatan perhotelan yang dilakukan, wajib pajak sudah melaporkannya sebagai objek pajak hotel.

Dengan demikian, koreksi otoritas pajak harus dibatalkan. Namun sebaliknya, otoritas pajak justru menyatakan hotel merchandise, other revenue (gallery), hotel car, dan car commission merupakan objek pajak PPN sehingga seharusnya dipungut PPN.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan dari otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa kegiatan perhotelan tidak termasuk objek PPN, melainkan objek pajak hotel yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Untuk itu, kegiatan perhotelan dikecualikan dari pemungutan PPN sehingga koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Atas permohonan banding itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.62328/PP/M.XVIIIB/16/2015 tertanggal 25 Juni 2015.

Selanjutnya, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 2 Oktober 2015.

Pokok sengketa perkara a quo adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) yang telah dilaporkan sebagai objek Pajak Hotel sebesar Rp57.882.694,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Menurut hasil penelitian Pemohon PK, Termohon PK melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) di dalam daerah pabean atas hotel merchandise, other revenue (gallery), hotel car, dan car commission. Atas penyerahan BKP tersebut seharusnya dipungut PPN.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 20 Tahun 2001, objek pajak hotel, antara lain: fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek, fasilitas pelayanan penunjang antara lain telepon, faximili, telex, restoran bar, pelayanan cuci, setrika dan seluruh transaksi sejenis, fasilitas olah raga dan hiburan antara lain pusat kebugaran, spa, kolam renang, tennis, golf, karaoke, pub, diskotek dan lain-lain yang disediakan atau dikelola hotel.

Berdasarkan ketentuan a quo, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek pajak hotel adalah berupa jasa. Sementara itu, pendapatan atas hotel merchandise, other revenue (gallery), hotel car, dan car commission merupakan objek pajak PPN.

Dengan demikian, koreksi Pemohon PK telah benar dan sesuai dengan fakta dan ketentuan yang berlaku. Namun sebaliknya, Termohon PK tidak setuju atas koreksi yang dilakukan Pemohon PK.

Termohon berdalil bahwa kegiatan perhotelan tidak termasuk objek PPN, melainkan objek pajak hotel yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, koreksi Pemohon PK dinilai harus dibatalkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar.

Terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung. Pertama, koreksi positif DPP atas penyerahan BKP yang PPN-nya harus dipungut sendiri tidak dapat dibenarkan.

Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan, alasan permohonan Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, Majelis Hakim Agung menilai bahwa kegiatan perhotelan tidak termasuk objek PPN, melainkan objek pajak hotel yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga dinyatakan ditolak. Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.