PELAPORAN PAJAK (5)

Contoh Kasus Perhitungan PPh Badan Terutang

Redaksi DDTCNews
Senin, 01 April 2019 | 15.55 WIB
Contoh Kasus Perhitungan PPh Badan Terutang

SESUAI dengan namanya, pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan. Menurut Undang-Undang (UU) PPh, penghasilan mengacu pada setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, dari dalam maupun luar negeri, baik untuk menambah kekayaan, konsumsi, investasi, dan lain sebagainya.

Secara sederhana, ada dua jenis subjek PPh, yakni orang pribadi dan badan. Bagi wajib pajak yang memiliki usaha sendiri, maka wajib membayar PPh badan. Berikut penjelasan mengenai subjek, objek, dan tarif PPh badan serta contoh perhitungannya.

Subjek PPh Badan

Berdasarkan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang termasuk dalam pengertian badan adalah Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), perseroan lainnya, BUMN dengan nama dan dalam bentuk apapun, BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif, dan bentuk usaha tetap.

Adapun merujuk UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.156/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas PMK No.215/PMK.03/2008 tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan, ada pihak-pihak yang dikecualikan sebagai subjek pajak badan, yaitu:

Pertama, kantor perwakilan negara asing. Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.

Kedua, organisasi-organisasi internasional, dengan syarat:

  • Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
  • Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

Ketigaunit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

  • Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  • Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
  • Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Contoh unit tertentu dari badan pemerintah yang tidak termasuk subjek pajak penghasilan badan adalah Bendahara Pemerintah Pusat dan Bendahara Pemerintah Daerah. Bendahara bukan subjek pajak badan tetapi hanya sebagai wajib pajak pemungut dan pemotong pajak. Dalam pengertian Bendahara Pemerintah adalah termasuk BLU (Badan Layanan Umum) dan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah).

Objek PPh Badan

Secara umum, objek PPh badan dibagi menjadi dua jenis, yaitu objek PPh tidak final dan objek PPh final. Objek PPh tidak final adalah objek pajak yang pada akhir tahun dihitung ulang, lalu diperhitungkan dengan kredit pajak yang telah dipotong pihak lain (jika ada).

Sementara itu, objek PPh final adalah objek PPh yang pajaknya telah final atau selesai pada saat dipotong oleh pihak lain atau dipotong sendiri pada akhir tahun dan tidak dihitung ulang. Artinya, pemajakannya dilakukan satu kali dengan tarif tersendiri dan tidak digunggung dengan penghasilan lainnya.

Tarif PPh Badan

Pertama, badan usaha yang memiliki pendapatan bruto sampai Rp4,8 miliar per tahun atau sering disebut usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dikenakan tarif pajak PPh final, yaitu PPh Pasal 4 Ayat 2 dengan perhitungan pajak 0,5% dikalikan dengan seluruh pendapatan bruto dari hasil usaha.

Kedua, badan usaha yang memiliki pendapatan bruto lebih dari Rp50 miliar per tahun, PPh badan dikenakan tarif pajak tunggal 25% dikalikan dengan laba bersih sebelum pajak. Laba bersih sebelum pajak didapatkan dari laba kotor dikurangi dengan biaya-biaya usaha yang diperbolehkan secara fiskal.

Ketiga, badan usaha yang memiliki pendapatan bruto antara Rp4,8 miliar-Rp 50 miliar, sesuai Pasal 31E UU PPh, badan usaha tersebut dikenakan dua tarif, yaitu (1) tarif 12,5% untuk PPh yang mendapatkan fasilitas (pendapatan bruto sampai dengan Rp4,8 miliar) dan (2) tarif 25% untuk PPh  yang tidak mendapatkan fasilitas (pendapatan bruto Rp4,8 miliar-Rp 50 miliar).

Contoh Kasus - PPh Final UMKM 0,5%

UMenghitung PPh untuk UMKM sangat mudah, wajib pajak hanya perlu menjumlahkan omzet dalam sebulan, lalu dikalikan tarif 0,5%. PPh tersebut wajib dibayarkan tanggal 15 setiap bulan berikutnya.

Karena PP 23/2018 baru efektif berlaku 1 Juli 2018, maka wajib pajak dengan omzet sampai Juni yang disetorkan Juli masih dihitung tarif 1%. Sementara untuk omzet Juli yang pajaknya disetorkan pada Agustus sudah menggunakan tarif 0,5% dikali omzet Juli.

Begitupula dengan Wajib Pajak UMKM yang baru mendaftar Juli 2018 dan setelahnya bisa langsung dikenakan tarif 0,5% untuk omzetnya. Penyesuaian tarif secara otomatisasi tanpa persetujuan, pemberitahuan atau surat apapun dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Contoh 1

Tuan Agus memiliki usaha kecil sebagai pedagang baju dengan omzet sebulan Rp15.000.000. Dia memenuhi syarat untuk menggunakan PP 23 Tahun 2018. Jadi perhitungan pajaknya:

  • Untuk omzet Juli 2018 yang disetorkan Agustus = 0,5% x Rp15.000.000= Rp75.000,
  • Jika Rp15.000.000 merupakan omzet Juni yang akan dibayar Juli ini, maka perhitungannya masih menggunakan tarif 1% x Rp15.000.000 = Rp150.000.

Tuan Agus bisa memanfaatkan tarif setengah persen itu hingga 7 tahun. Setelah itu, dia wajib membuat pembukuan dan menjadi wajib pajak normal.

Contoh 2

Jika Tuan Agus baru memulai usaha dan masih menunjukkan rugi atau belum ada omzet, maka wajib pajak dapat memilih untuk tidak dipungut pajak. Tapi syaratnya menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Contoh 3

Tuan Agus mengantongi omzet sebesar Rp700.000.000 per tahun. Kemudian ternyata istrinya memiliki usaha salon dengan omzet Rp500.000.000 per tahun. Keduanya belum memiliki anak. Maka perhitungan PPh finalnya sebagai berikut:

Jika Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) digabung:

  • Omzet suami Rp700.000.000.
  • Omzet istri Rp500.000.000.
  • Total omzet gabungan = Rp1.200.000.000.
  • Pajak penghasilan suami dan istri = 0,5% x Rp1.200.000.000 = Rp6.000.000.
  • Kalau dihitung per bulan, maka PPh-nya = Rp6.000.000/12 = Rp500.000.

Jika NPWP terpisah atau membayar pajak masing-masing:

  • Omzet suami Rp700.000.000:
    • PPh-nya = 0,5% x Rp700.000.000 = Rp3.500.000 (setahun).
    • Karena ada kewajiban pembayaran setiap bulan, maka beban PPh per bulan Rp3.500.000 : 12 = Rp291.666,67 atau dibulatkan Rp291.670.
  • Omzet istri Rp500.000.000:
    • PPh-nya = 0,5% x Rp500.000.000 = Rp2.500.000 (setahun)
    • PPh per bulan Rp1.000.000/12 = Rp208.333,33 atau dibulatkan Rp208.335 per bulan.

Contoh Kasus - PPh Badan dengan Fasilitas Pasal 31E

Peredaran bruto PT ABC pada tahun sebelumnya mencapai lebih dari Rp4,8 miliar. Tahun ini, peredaran brutonya mencapai Rp30 miliar dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp3 miliar. Berikut adalah penghitungan PPh-nya:

Pertama, menghitung bagian penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas:

  • (Rp4,8 miliar/Rp30 miliar) x Rp3 miliar = Rp480 juta.
  • PPh badan: 12,5% x Rp480 juta = Rp60 juta.

Kedua, menghitung bagian penghasilan kena pajak yang tidak memperoleh fasilitas:

  • (Rp3 miliar - Rp480 juta) = Rp2,52 miliar
  • PPh badan: 25% x Rp2,52 miliar = Rp630 juta.

Dengan demikian, total PPh badan yang harus dibayar adalah Rp60 juta + Rp630 juta = Rp690 juta.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-02/PJ/2015 mengenai Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU PPh yang mencabut SE-66/PJ/2010 tentang perihal yang sama, disebutkan bahwa fasilitas pengurangan tarif tersebut dilaksanakan dengan cara self assesment pada saat penyampaian SPT tahunan PPh badan, sehingga wajib pajak badan dalam negeri tidak perlu menyampaikan permohonan untuk memperoleh fasilitas tersebut.

Selain itu, BUT merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif menurut Pasal 31E. Fasilitas pengurangan tarif juga bukan merupakan pilihan, sehingga wajib pajak yang memenuhi ketentuan wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif tersebut. 

Adapun artikel kelas pajak selanjutnya akan mengulas mengenai tata cara pelaporan SPT tahunan PPh Badan secara lengkap.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.