DALAM ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) yang diterapkan di Indonesia, PPN tidak hanya dikenakan terhadap penyerahan barang-barang baru. Sebab, barang bekas pun bisa terutang PPN jika dialihkan ke pihak lain.
Hal itulah yang disebut dengan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan atau disebut PPN Pasal 16D. Dalam Pasal 16D Undang-Undang (UU) PPN disebutkan bahwa:
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”
Sebagaimana diketahui, dalam PPN dikenal dengan mekanisme pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran atas setiap masa terutang PPN. Pada saat aktiva dibeli, pengusaha kena pajak (PKP) sudah membayar pajak masukan. Seharusnya aktiva tersebut tidak dijual, tetapi dipergunakan untuk menghasilkan pajak keluaran.
Namun karena sebab tertentu, PKP dapat saja mengalihkannya ke pihak lain. Pada saat aktiva tersebut dijual, maka ada sejumlah PPN yang sudah dikreditkan oleh PKP. Karena itu, pengenaan PPN untuk penjualan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan bertujuan untuk mengembalikan PPN yang sudah dikreditkan.
PPN Pasal 16D Menurut UU PPN 1994
Dari historisnya, pengenaan PPN atas aktiva bekas mulai diperkenalkan saat UU PPN 1994 berlaku. Dalam UU PPN 1994, aktiva bekas ini diistilahkan dengan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Dalam Pasal 16D UU PPN 1994, dikatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Dari kalimat tersebut, dapat dilihat bahwa ada tiga syarat pengenaan PPN Pasal 16D pada masa itu, yakni 1) jenis aktivanya, 2) pihak yang melakukan penyerahannya, dan 3) PPN (pajak masukan) yang dahulu dibayar saat perolehan aktiva yang akan dialihkan oleh PKP.
Pertama, aktiva yang diserahkan. Aktiva yang diserahkan/dijual atau dialihkan kepada pihak lain adalah aktiva yang menurut tujuan semula dibeli tetapi tidak untuk diperjualbelikan. Banyak orang menyebutnya dengan istilah ‘non-inventory asset’ atau aktiva selain barang dagangan.
Misalnya inventaris kantor, kendaraan dinas, mesin pabrik, dan lain sebagainya, yang dahulu dibeli dengan maksud untuk digunakan dalam aktivitas operasional sehari-hari dan bukan untuk diperdagangkan. Tetapi karena sudah rusak atau dengan alasan lain seperti ingin mengganti dengan yang baru, maka inventaris kantor yang lama kemudian dijual atau diserahkan kepada pihak lain.
Kedua, pihak yang menyerahkan. Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva bekas sudah dikukuhkan sebagai PKP. Artinya jika penyerahan aktiva bekas dilakukan oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP (non-PKP), maka atas penyerahan aktiva bekas tersebut tidak terutang PPN Pasal 16D.
Ketiga, pajak masukan atas perolehan aktiva. Dalam Pasal 16D UU PPN 1994, ada kalimat “…sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.”
PPN yang dimaksud di sini adalah pajak masukan yang sudah dibayar PKP saat memperoleh aktiva tersebut, baik menurut UU PPN pajak masukan itu dapat dikreditkan atau tidak. Jika dapat dikreditkan, maka sepanjang kedua syarat di atas terpenuhi, atas penyerahan aktiva bekas yang dilakukan terutang PPN Pasal 16D.
PPN Pasal 16D Sejak 1 April 2010
Sejak UU PPN 2009 berlaku pada 1 April 2010 hingga sekarang, pengenaan PPN Pasal 16D semakin diperluas. Sebab, dalam UU PPN 2009, ketentuan ketiga yang sebelumnya ada dalam UU PPN 1994 dan UU PPN 2000 berupa syarat adanya pajak masukan yang dapat dikreditkan telah dihapus.
Bunyi selengkapnya Pasal 16D UU PPN 2009 adalah seperti berikut:
"Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."
Dalam UU PPN 2009, pengenaan PPN Pasal 16D lebih dititikberatkan pada aktiva non-inventory asset yang berbentuk BKP. Artinya jika aktiva yang diserahkan bukan merupakan BKP, maka terhadap penyerahan aktiva tersebut tidak terutang PPN. Misalnya jika PKP menyumbangkan beras kepada pihak lain, maka terhadap sumbangan itu tidak terutang PPN Pasal 16D karena beras bukan merupakan BKP menurut penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN 2009.
Lebih lanjut, dalam Pasal 16D UU PPN 2009 tidak ada lagi kalimat “…sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.” Ini menandakan bahwa pengenaan PPN Pasal 16D tidak lagi memperhatikan ada tidaknya pajak masukan yang dibayar saat memperoleh aktiva tersebut.
Maksudnya adalah meskipun saat memperoleh aktiva tidak ada PPN yang dibayar, misalnya karena aktiva dibeli dari penjual yang non-PKP, namun saat aktiva tersebut dialihkan maka atas penyerahan itu akan terutang PPN. Inilah yang membuat banyak pihak berkesimpulan bahwa ada perluasan objek pengenaan PPN Pasal 16D.
Selain itu, kesimpulan tadi juga diperkuat dengan adanya kalimat “…kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”
Pengecualian Pasal 16D UU PPN
Pasal 16D memberikan pengecualian atas penjualan aktiva. Pengecualian artinya, atas penjualan aktiva yang masuk kriteria ini maka tidak terutang PPN. Secara umum, syarat pengecualian adalah pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Tidak dapat dikreditkan berbeda dengan tidak dikreditkan. Tidak dikreditkan bisa jadi sebenarnya dapat dikreditkan tetapi PKP tidak memperhitungkan sebagai kredit pajak.
Ada dua kriteria pajak masukan tidak dapat dikreditkan:
Contoh riil aktiva yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN adalah misalnya saat PKP menjual aset berupa tanah kosong yang sebelumnya tidak pernah kita gunakan dalam kegiatan usaha.
Contoh lain, PKP menjual aset berupa mess karyawan. Saat PKP membeli mess untuk karyawan, PKP tidak boleh mengkreditkan pajak masukan atas pembelian mess tersebut karena dianggap tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Oleh sebab itu, saat PKP menjual mess tersebut juga tidak akan terutang PPN Pasal 16D.
Selain itu, aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN 2009 adalah aktiva berupa kendaraan sedan dan station wagon.
Sebagaimana kita ketahui, jika PKP membeli kendaraan jenis sedan atau station wagon, pajak masukan atas pembelian sedan itu tidak boleh dikreditkan meskipun kenyataannya sedan itu digunakan dalam kegiatan usaha. Karena tidak dapat dikreditkan, maka pada saat PKP menjual sedan tersebut, atas penjualannya tidak terutang PPN Pasal 16D.
Tapi jika seandainya sedan dan station wagon itu dibeli dengan maksud untuk usaha persewaan mobil (rental) atau untuk dijual kembali (showroom), maka PPN atau pajak masukan atas pembelian sedan dan station wagon itu dapat dikreditkan, sehingga pada saat akan dijual atas penyerahannya dapat terutang PPN Pasal 16D.
DPP dan Faktur Pajak untuk PPN Pasal 16D
Terhadap penyerahan aktiva bekas yang terutang PPN Pasal 16D, PKP harus membuat faktur pajak dengan kode faktur 09. Tarif PPN-nya tetap 10% sedangkan dasar pengenaan pajak (DPP) PPN Pasal 16D menggunakan DPP nilai lain, yaitu sebesar harga pasar dari aktiva yang diserahkan (Peraturan Menteri Keuangan No.38/PMK.011/2013).
Ilustrasi Kasus
PT. ABC sebuah perusahaan pembuat botol minuman terkenal merk 'Drink' telah memutuskan untuk mengganti sebagian mesin-mesin yang dibeli tahun 2008 kepada distributor lokal yang berstatus sebagai PKP. Perusahaan bermaksud melepas mesin-mesin tersebut pada awal tahun 2019 dengan cara menjualnya kepada calon pembeli.
Perusahaan juga bermaksud untuk menjual tiga buah kendaraan jenis sedan perolehan tahun 2012 yang selama ini digunakan oleh para direksi dan akan menggantinya dengan kendaraan baru. Sebagai informasi tambahan PT. ABC adalah wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP oleh Ditjen Pajak.
Terkait dengan rencana PT ABC tersebut, apakah atas penjualan mesin-mesin dan kendaraan di atas harus dikenakan PPN? Bagaimana mekanisme pengenaannya?
Berikut penjelasannya: aktiva yang akan dilepas (dijual) terdiri atas dua jenis yaitu mesin-mesin dan kendaraan bermotor jenis sedan. Mesin-mesin yang dibeli pada tahun 2008 adalah mesin-mesin yang berhubungan dengan kegiatan usaha, dibeli dari PKP dan PPN dipungut dengan faktur pajak standar. Dengan demikian PPN yang dibayar pada saat perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.
Kesimpulan atas penjualan aktiva berupa mesin-mesin yang akan dilakukan pada awal 2019, dikenakan PPN Pasal 16D sebesar 10% dari harga jual-nya. Sebagai pertanggungjawaban atas pengenaan PPN tersebut diterbitkan faktur pajak dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN.
Adapun, kendaraan bermotor jenis sedan yang dibeli tahun 2011 menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN tidak dapat dikreditkan. Oleh sebab itu, atas penjualan aktiva berupa kendaraan bermotor jenis sedan tidak dikenakan PPN karena salah satu persyaratan dalam Pasal 16D UU PPN 1984 yaitu bahwa PPN yang dibayarkan pada saat perolehan aktiva tersebut (menurut ketentuan) dapat dikreditkan tidak terpenuhi.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.