Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sarasehan Akselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional, Jumat (9/4/2021). (tangkapan layar Youtube)
BALI, DDTCNews – International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,8% menjadi hanya 4,3% pada 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan lembaga-lembaga dunia memiliki banyak pertimbangan untuk merevisi proyeksi pertumbuhan ekonominya. Namun, dia menegaskan pemerintah akan berupaya menjaga agar ekonomi pulih lebih cepat pada tahun ini.
"Dari sisi policy, yang bisa kami kontrol, kami akan melakukan adjustment. Tahun 2021 kami melakukan berbagai adjustment sesudah kami cukup berhasil untuk menahan kontraksi tidak terlalu dalam [pada tahun lalu]," katanya dalam acara Sarasehan Akselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional, Jumat (9/4/2021).
Menurutnya, revisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dilakukan karena IMF memperhatikan berbagai ketidakpastian yang terjadi di dunia. Misalnya, masalah vaksinasi dan munculnya gelombang ketiga penularan Covid-19 di beberapa negara.
Pemerintah, sambungnya, terus mengakselerasi berbagai kebijakan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional setelah terkontraksi 2,07% pada 2020. Pada tahun ini, melalui program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah kembali menyiapkan dana Rp699,43 triliun atau naik 22% dari realisasi 2020.
Melalui anggaran tersebut, pemerintah memfokuskan stimulus untuk menangani pandemi dari sisi kesehatan, memberikan perlindungan sosial, menjaga UMKM, serta mendukung pemulihan dunia usaha.
Misalnya pada stimulus untuk dunia usaha, telah tersedia pagu Rp58,46 triliun. Insentif itu seperti pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), pembebasan PPh Pasal 22 impor, potongan angsuran PPh Pasal 25, penurunan tarif PPh badan, PPh final UMKM DTP, serta restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat.
Meski belanja pemerintah naik, Sri Mulyani memastikan defisit anggaran tetap terjaga rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada 2020, defisit APBN tercatat 6,09% terhadap PDB, sedangkan tahun ini ditargetkan 5,7% terhadap PDB.
"Fiscal deficit relatif lebih kecil, yaitu 6% [tahun lalu]. Negara lain bisa double gigit, yaitu 10-12%, bahkan 15% seperti di Amerika Serikat," ujarnya. (kaW)