Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tertentu (BHPT), agar matang-matang dalam memutuskan tarif yang digunakan saat memungut PPN.
Imbauan tersebut bukan tanpa alasan. Penyuluh Pajak KPP Madya Surabaya Indahjanti mengungkapkan PKP yang awalnya menggunakan besaran tertentu dalam memungut PPN tetapi beralih ke tarif normal, tidak dapat lagi kembali memungut PPN menggunakan besaran tertentu.
“Jadi, kalau sudah [beralih] menggunakan mekanisme yang diatur dalam Pasal 7 [ayat 1 UU PPN] sudah tidak dapat kembali menggunakan besaran tertentu untuk masa pajak tahun berikutnya,” jelas Indahjanti dalam Instagram Live @pajakmadyasby, dikutip pada Senin (7/11/2022).
Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU PPN, tarif normal PPN diatur sebesar 11% yang berlaku sejak 1 April 2022. Kemudian, paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025, tarif PPN akan naik menjadi sebesar 12%.
Sementara itu, tarif besaran tertentu untuk PKP yang melakukan penyerahan BHPT diatur dalam PMK 64/2022. Tarif besaran tertentu ditentukan sebesar 10% dari tarif PPN yang berlaku. Simak ‘PKP Hasil Pertanian Ingin Pungut PPN Besaran Tertentu, Begini Mekanismenya’
Kendati demikian, jika telah menggunakan besaran tertentu tetapi memang ingin beralih menggunakan tarif normal, PKP harus melakukan pemberitahuan terlebih dahulu. Kemudian, Indahjanti menegaskan, terdapat ketentuan jangka waktu yang diatur untuk PKP dapat menggunakan tarif normal kembali.
“Jadi, harus 1 tahun pajak berakhir dulu [dalam menggunakan besaran tertentu]. Baru bisa mengajukan pemberitahuan [untuk menggunakan tarif normal PPN],” tegas Indahjanti,
Adapun PKP yang termasuk dalam penyerahan BHPT telah diperinci dalam Lampiran PMK 64/2022. Terdapat 5 kelompok komoditas yang merupakan objek BHPT, yakni kelompok hasil perkebunan, tanaman pangan, tanaman hias dan obat, hasil hutan, serta hasil hutan bukan kayu. Di dalam setiap kelompok, juga telah diperinci terkait jenis komoditas, proses, dan jenis barang yang dihasilkan. Simak pula 'Soal Terbitnya PMK 64/2022, Begini Penjelasan Resmi Ditjen Pajak' (Fauzara Pawa Pambika/sap)