Ilustrasi. Sebuah bank penambang cryptocurrency beroperasi di Scrubgrass Plant di Kennerdale, Pennsylvania, AS, Selasa (8/3/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Alan Freed/WSJ/sad.
JAKARTA, DDTCNews - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memproyeksikan penerimaan pajak dari aset kripto mencapai lebih dari Rp1 triliun. Potensi ini muncul lantaran pemerintah telah mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas aset digital tersebut.
Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan, besarnya potensi pajak yang akan diterima negara, dihitung berdasarkan total transaksi aset kripto yang mencapai Rp850 triliun selama 2020 lalu.
"Potensinya kita hitung berdasarkan data yang kita peroleh tahun 2020 total transaksi kripto di Indonesia ini Rp850 triliun. Berarti dikali 0,2 ya sekitar hampir Rp1 triliun sekian," kata Bonarsius dalam Media Briefing, Rabu (6/4/2022).
Adapun kebijakan PPN dan PPh aset kripto diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Bonarsius mengatakan ketentuan dalam beleid tersebut berlaku per 1 Mei 2022.
Lebih lanjut, Bonarsius menerangkan potensi penerimaan pajak kripto didapat atas adanya pengenaan PPN final dan PPh Pasal 22 bersifat final sebagaimana diatur dalam PMK 68/2022.Â
Pada Pasal 3 ayat (2) PMK 68/2022, dijelaskan penyerahan aset kripto yang terutang PPN adalah jual beli aset kripto menggunakan mata uang fiat, tukar menukar aset kripto, dan tukar menukar aset kripto dengan barang selain aset kripto dan/atau jasa.
Bila dilakukan melalui exchanger terdaftar Bappebti, tarif PPN yang dikenakan sebesar 0,11%. Bila exchanger tidak terdaftar, tarif PPN menjadi sebesar 0,22%.
Dalam hal PPh, Pasal 20 ayat (2) PMK 68/2022 menyatakan penghasilan sehubungan dengan transaksi aset kripto bisa berupa transaksi pembayaran mata uang fiat, tukar menukar aset kripto, dan transaksi lainnya.
PPh Pasal 22 final yang dikenakan adalah sebesar 0,1%. Bila transaksi dilakukan melalui exchanger yang tak terdaftar, tarif PPh Pasal 22 final menjadi 0,2%.
Di sisi lain, Bonarsius mengatakan potensi penerimaan pajak dari aset kripto pada akhirnya akan dioptimalkan oleh pemerintah untuk mempertebal bantuan sosial ke masyarakat. Dengan demikian masyarakat kaya yang berinvestasi di kripto ini juga ikut berkontribusi terhadap negara.
Di sisi lain, dia menyampaikan DJP juga mengatur pengenaan pajak dilakukan kepada pihak yang memfasilitasi perdagangan aset kripto baik di dalam maupun luar negeri. Upaya ini dilakukan untuk menciptakan keadilan kepada setiap pelaku usaha dalam perdagangan kripto.
"Kalau kita bicara pihak-pihak lain ini luas. Pihak lain ini mencakup marketplace dalam negeri bisa juga marketplace luar negeri. Cuma tentunya untuk luar negeri kita sudah punya benchmark. Jadi memang kita akan jaga equal treatment," ungkapnya. (sap)