Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Melalui revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah berencana mengenakan pajak karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Naskah Akademik (NA) RUU KUP memuat estimasi penerimaan pajak karbon akan mencapai Rp31,91 triliun. Angka itu diperoleh dari simulasi penghitungan pengenaan pajak karbon pada 3 sektor hilir pembangkit listrik, industri, dan transportasi.
"Wacana penerapan pajak karbon dinilai cukup signifikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca,” tulis pemerintah dalam NA RUU KUP, dikutip pada Jumat (16/7/2021).
Simulasi penerimaan pajak karbon dilakukan menggunakan data konsumsi pada 2020 dengan asumsi penggunaan batu bara pada sektor pembangkit listrik dan industri, serta penggunaan solar dan bensin pada sektor transportasi. Adapun asumsi tarif pajak karbon menggunakan angka yang usulan pemerintah senilai Rp75 per kilogram emisi CO2.
Dengan data konsumsi energi dan estimasi yang tinggi, sektor pembangkit listrik akan menjadi penyumbang pajak karbon terbesar, yakni Rp16,35 triliun. Angka penerimaan pajak karbon itu kemudian disusul sektor industri senilai Rp10,63 triliun dan transportasi Rp4,29 triliun.
Dari sisi makro, pemerintah menilai implementasi pajak karbon secara teknis akan mengakibatkan harga energi lebih tinggi. Efektifitas penerapannya juga akan bergantung pada besaran tarif yang dikenakan. Hasil simulasi itu juga menunjukkan pajak karbon dapat menimbulkan tekanan negatif bagi perekonomian jika kebijakan itu dijalankan tanpa adanya aksi tindak lanjut yang terukur.
"Hasil analisis menunjukkan bahwa produk domestik bruto, konsumsi riil, dan tenaga kerja akan lebih rendah,” imbuh pemerintah.
Penerapan pajak karbon diusulkan sebagai salah satu upaya untuk mencapai komitmen pengurangan dampak perubahan iklim sesuai dengan Kesepakatan Paris. Berdasarkan pada komitmen tersebut, Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dari kondisi business as usual (BAU) 2030.
Target penurunan emisi gas rumah kaca tersebut dapat ditingkatkan menjadi 41% jika Indonesia mendapatkan dukungan pendanaan dari komunitas global. (kaw)