Ilustrasi. Pekerja membersihkan lantai di samping grafik pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (26/8/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.
JAKARTA, DDTCNews – Terbitnya PMK 123/2020 – yang mengatur tentang laporan dan daftar wajib pajak untuk pemenuhan persyaratan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) perseroan terbuka –menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (10/9/2020).
Beleid turunan PP 30/2020 ini menegaskan tarif 3% lebih rendah dari tarif PPh badan dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbuka dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor ke perdagangan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% dan memenuhi persyaratan tertentu.
Persyaratan tertentu yang harus dipenuhi mencakup empat aspek. Pertama, saham yang lepas ke bursa efek harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak. Kedua, masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang ditempatkan atau disetor penuh.
Pihak yang dimaksud tidak termasuk wajib pajak perseroan terbuka yang membeli kembali (buyback) sahamnya dan/atau yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam UU PPh dengan wajib pajak perseroan terbuka.
Ketiga,ketentuan minimal setor saham, jumlah pihak, dan persentase kepemilikan saham tiap pihak harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu satu tahun pajak. Keempat, pemenuhan persyaratan dilakukan wajib pajak perseroan terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Ditjen Pajak (DJP).
Adapun laporan kepada DJP meliputi laporan bulanan dan laporan kepemilikan saham yang memiliki hubungan istimewa. Laporan bulanan merupakan laporan bulanan kepemilikan saham atas emiten atau perusahaan publik dan rekapitulasi yang telah dilaporkan dari Biro Administrasi Efek.
“Atau laporan bulanan kepemilikan saham atas emiten atau perusahaan publik bagi emiten dan atau perusahaan publik yang menyelenggarakan administrasi efek sendiri,” demikian bunyi Pasal 5 ayat (2) huruf b PMK tersebut.
Laporan bulanan dibuat untuk setiap tahun pajak dengan mencantumkan nama wajib pajak, nomor pokok wajib pajak (NPWP), tahun pajak, serta menyatakan pemenuhan persyaratan. Wajib pajak melampirkan laporan sebagai bagian dari SPT tahunan PPh untuk setiap tahun pajak.
Dalam PMK ini juga ditegaskan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan daftar wajib pajak yang memenuhi ketentuan kepada menteri keuangan melalui dirjen pajak. Daftar wajib pajak disampaikan paling lama setiap akhir bulan setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Selain mengenai terbitnya PMK 123/2020, ada pula bahasan mengenai penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara DJP dengan Australian Taxation Offices (ATO) mengenai pertukaran informasi secara otomatis atas informasi bukti pemotongan pajak penghasilan (Automatic Exchange of Information/AEOI on Withholding Tax).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan PMK 123/2020 memperjelas pelaporan dan pengawasan terhadap pemanfaatan penurunan tarif PPh wajib pajak badan perseroan terbuka.
Daftar wajib pajak yang disampaikan OJK yang ditunjuk akan menjadi instrumen untuk melakukan pengawasan. DJP akan melakukan klarifikasi jika ditemukan ketidaksesuaian antara jumlah wajib pajak yang memenuhi ketentuan dengan daftar wajib pajak yang disampaikan OJK.
"Harusnya kalau sudah memenuhi syarat, pasti ada di daftarnya OJK. Ini hanya komplementer untuk cross check. Kalau berbeda, tentunya akan kita mintakan klarifikasi,” kata Hestu. (Bisnis Indonesia/DDTCNews)
MoU antara DJP dan ATO sebagai ketentuan pelaksanaan pasal pertukaran informasi pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia dan Australia. MoU tersebut menjadi landasan hukum pelaksanaan pertukaran informasi bukti pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak Indonesia oleh subjek pajak Australia atau sebaliknya.
Dengan MoU tersebut, DJP bisa menerima informasi mengenai penghasilan wajib pajak Indonesia yang bersumber dari subjek pajak Australia. Adapun pertukaran informasi tersebut bakal dilaksanakan secara rutin setiap tahun. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat kerja sama yang dijalin DJP dan ATO akan menguntungkan karena ada indikasi penempatan harta dan sumber penghasilan wajib pajak Indonesia di Australia. Data yang didapat bisa menjadi pembanding untuk menguji kepatuhan pajak.
Data yang dipertukarkan juga bisa dipakai sebagai acuan untuk memperluas basis pajak. Misalnya, jika ada warga negara Indonesia yang belum terdaftar sebagai wajib pajak tetapi mempunyai harta di Australia. (Kontan)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah terus menyempurnakan prosedur verifikasi dan validasi data pekerja calon penerima bantuan langsung tunai atau subsidi upah.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan salah satu rekomendasi KPK adalah mencocokkan data yang diperoleh dari BPJS Ketenagakerjaan dengan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan.
"Tadi kami sampaikan, ini harus dipadankan dengan SPT tahunan dokumen pajak. Apakah benar penghasilannya dilaporkan di bawah Rp5 juta," katanya. Simak artikel ‘Soal Pemberian Subsidi Gaji, KPK Sarankan Validasi Pakai Data SPT’. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan dari total sebanyak 2,3 juta wajib pajak yang menggunakan skema fasilitas dalam PP 23/2018, hanya ada sekitar 200.000 wajib pajak badan.
"Wajib pajak badan UMKM yang selama ini membayar PPh Final 0.5% sekitar 200.000-an,” katanya, Rabu (9/9/2020).Simak artikel ‘Soal WP Badan yang Tak Boleh Lagi Pakai Skema PPh Final, Ini Kata DJP’. (DDTCNews)
Hingga semester I/2020 baru 11,46 juta wajib pajak yang sudah menyampaikan SPT tahunan. Jumlah tersebut baru 60,34% dari 19 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT. DJP menyatakan kondisi ini dipengaruhi pandemi Covid-19 yang sempat memaksa otoritas menutup pelayanan langsung kantor pajak.
Akibatnya, banyak wajib pajak yang terkendala dalam penyampaian SPT tahunan tidak bisa mendapatkan pelayanan tatap muka. Meski masih rendah, target rasio kepatuhan tetap ditargetkan mencapai 80% pada akhir 2020. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)