Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (DDTCNews - Kemenkeu)
“Kembalinya hari-hari ketika bantuan [utang] menelantarkan berbagai upaya penjaminan basis pajak, yang dapat diandalkan di beberapa negara, akan menjadi langkah ke arah yang salah.”
PENGGALAN pernyataan Direktur Pusat Kebijakan Pajak dan Administrasi OECD Pascal Saint-Amans dalam “Tax Co-operation for Development: Progress Report” tersebut mengingatkan pentingnya penjagaan basis pajak, tidak terkecuali saat situasi krisis akibat pandemi Covid-19.
Memang, dalam kondisi saat ini, banyak negara menggunakan pajak sebagai instrumen untuk menstimulus perekonomian. Apalagi, pandemi Covid-19 diproyeksi akan membuat perekonomian dunia terkontraksi. Situasinya bahkan lebih parah daripada krisis keuangan global pada 2008.
Dalam “World Economic Outlook Update” Juni 2020, International Monetary Fund (IMF) memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini minus 4,9%. Pemulihan atas situasi yang disebut The Great Lockdown ini juga masih penuh ketidakpastian.
Bagaimana Indonesia? IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 juga akan terkontraksi 0,3%. Pemerintah memakai outlook asumsi pertumbuhan ekonomi dalam rentang minus 0,4% hingga tumbuh 1,0%, jauh lebih rendah dari patokan dalam APBN 2020 sebesar 5,3%.
Dengan asumsi produk domestik bruto (PDB) yang meleset, pemerintah mengubah postur APBN 2020. Misinya untuk menjalankan kebijakan countercyclical. Perubahan sudah dilakukan dua kali, yaitu melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2020 dan Perpres No. 72 Tahun 2020.
Secara umum, ada kenaikan pagu belanja sebagai upaya pemberian stimulus ekonomi dan penanganan Covid-19. Pada saat yang sama, pendapatan negara diproyeksi menurun. Alhasil, defisit membengkak hingga 6,34% terhadap PDB.
Hal itu dimungkinkan karena melalui Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020, pemerintah telah memperlebar batasan defisit anggaran menjadi lebih dari 3% PDB hingga tahun anggaran 2022. Batasan defisit anggaran maksimal 3% PDB sesuai UU Keuangan Negara diberlakukan lagi mulai 2023.
Dikereknya batas defisit anggaran ini pada gilirannya memperlebar ruang bagi pemerintah untuk menambah utang. Untuk tahun ini, pembiayaan anggaran menjadi Rp1.039 triliun, naik hingga Rp732 triliun atau 238% dari patokan dalam APBN induk senilai Rp307 triliun.
Sejatinya, kenaikan belanja hanya senilai Rp199 triliun atau 7% dari Rp2.540 triliun dalam APBN induk menjadi Rp2.739 triliun dalam Perpres No.72 Tahun 2020. Namun, pendapatan negara diproyeksi turun hingga Rp533,3 triliun atau 31,4%. Dari semula Rp2.233,2 triliun menjadi Rp1.699,9 triliun.
Turunnya target pendapatan negara lebih banyak dipengaruhi oleh penerimaan pajak. Target penerimaan pajak yang semula Rp1.642,6 triliun diturunkan hingga Rp443,7 triliun atau 27% menjadi Rp1.198,8 triliun. Kontribusi penerimaan pajak sebesar 70,5% dari total pendapatan negara.
Penerimaan dan Insentif
PENURUNAN target penerimaan pajak tersebut menjadi langkah yang paling realistis dijalankan pemerintah saat ini. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, gabungan perlemahan ekonomi dan pemberian insentif (stimulus) memukul kinerja penerimaan pajak tahun ini.
Pada semester I/2020, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp531,7 triliun atau turun 12% dibandingkan dengan kinerja pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp604,3 triliun. Padahal, pada paruh pertama 2019, penerimaan pajak masih bisa tumbuh 3,9% secara tahunan.
“Pembatasan ekonomi [akibat pandemi Covid-19] dan pemberian insentif pajak yang sudah mulai berjalan memberikan dampak bagi penurunan [penerimaan pajak]," kata Sri Mulyani.
Semua jenis pajak terkoreksi. Persentase penurunan paling besar terjadi pada PPh migas, yaitu 40,1%. Kemudian, diikuti PBB dengan penurunan penerimaan 22,3%. Selanjutnya, ada PPN dan PPnBM, PPh migas, serta pajak lainnya, masing-masing terkoreksi 10,7%, 10,1%, serta 5,6%.
Kendati mengalami penurunan, kontributor terbesar penerimaan adalah PPh nonmigas serta PPN dan PPnBM. Penerimaan PPh nonmigas pada semester I/2020 senilai Rp312 triliun atau berkontribusi 58,72%. Penerimaan PPN dan PPnBM senilai Rp189,5 triliun atau menyumbang 35,64%.
Adapun penerimaan dari semua sektor usaha utama tertekan. Industri pengolahan yang berkontribusi sekitar 29% dari total penerimaan pajak tercatat mengalami kontraksi hingga 12,8%. Kemudian, sektor perdagangan yang berkontribusi 19,7% juga tercatat minus 13,4% pada paruh pertama 2020.
Otoritas menyatakan permintaan barang dan jasa domestik pada berbagai sektor tertekan akibat penurunan aktivitas selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pelemahan daya beli masyarakat, serta perubahan pola spending-saving masyarakat dalam menghadapi pandemi.
Selain itu, Sri Mulyani mengakui dalam situasi sekarang, Ditjen Pajak (DJP) menjalankan dua mandat yang saling bertentangan. Di satu sisi, otoritas pajak harus tetap bisa menjaga penerimaan. Di sisi lain, harus ada dukungan terhadap ekonomi, dunia usaha, dan masyarakat lewat insentif.
Berbagai insentif pajak memang telah diberikan, baik melalui PMK 28/2020, PMK 44/2020, maupun PP 29/2020. Berdasarkan studi komparasi DDTC Fiscal Research, langkah yang diambil pemerintah dalam jangka pendek ini tepat dan selaras dengan 138 negara lain.
Jika dilihat dari tujuan penggunaan instrumen pajak di sejumlah negara tersebut, tiga porsi terbesarnya adalah untuk kemudahan administrasi (37,1%), peningkatan arus kas usaha (35,8%), dan penunjang sistem kesehatan (11,4%). PPh paling banyak dipakai.
Dibandingkan dengan negara lain, langkah Indonesia juga cukup progresif. Hal ini dikarenakan selain memberikan berbagai insentif temporer, pemerintah juga merilis kebijakan jangka panjang, yaitu penurunan tarif PPh badan dan pemajakan ekonomi digital melalui UU 2/2020.
Urat Nadi Negara
MANAGING Partner DDTC Darussalam mengatakan pemberian insentif pajak yang masif pada tahun ini akan berdampak pada pelebaran belanja pajak (tax expenditure).
Alhasil, penerimaan pajak, yang berkontribusi paling besar dalam pendapatan negara, akan mengalami penurunan. “Dalam masa pandemi ini terlihat pajak adalah urat nadi suatu negara,” ujarnya.
Dalam jangka menengah, Darussalam berpendapat upaya untuk meningkatkan perekonomian tidak harus dikaitkan dengan relaksasi. Peningkatan daya saing dan penguatan ekonomi perlu diambil dengan menciptakan kepastian dalam sistem pajak.
Perubahan paradigma tersebut perlu ditindaklanjuti dengan evaluasi berbagai tax expenditure. Evaluasi perlu dilakukan untuk melihat efektivitas dan kesesuaian tax expenditure dengan lanskap ekonomi ke depan serta ‘mengerem’ laju pertumbuhannya.
Dirjen Pajak Suryo Utomo berkomitmen untuk terus memperluas basis pajak di tengah pemberian stimulus kepada perekonomian. Evaluasi terhadap pemberian insentif juga akan terus dilakukan pemerintah untuk melihat efektivitasnya terhadap perekonomian.
Dia mengaku upaya perluasan basis pajak hingga pertengahan tahun ini memang sempat terhambat. Pengawasan berbasis kewilayahan yang diserukan dari awal tahun juga sempat terhenti karena adanya protokol physical distancing.
“Kita tidak dapat aktif melakukan interaksi dengan wajib pajak secara langsung. [Padahal], memeriksa dan mengawasi kan kadang-kadang kita memerlukan dokumen-dokumen yang sifatnya kertas atau manual,” jelas Suryo.
Sekarang, dalam tatanan kenormalan baru (new normal), DJP sudah membuka kembali pelayanan tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat. Dalam urusan pengawasan kepatuhan, otoritas juga lebih banyak mengoptimalkan penggunaan saluran elektronik.
Selain itu, pemajakan ekonomi digital juga akan digunakan DJP untuk memperluas basis pajak. Mulai Juli 2020, PMK 48/2020 tentang pemungutan PPN produk digital dari luar negeri juga sudah belaku. Tercatat, enam perusahaan global akan mulai memungut PPN mulai 1 Agustus 2020.
DJP mengaku akan memetakan sektor-sektor usaha yang mengalami pemulihan paling cepat sehingga dapat menjadi tumpuan penerimaan pajak. Perbaikan administrasi dalam kerangka reformasi perpajakan juga terus dijalankan.
Kondisi pajak tahun ini memang berbeda. Gaung fungsi mengatur (regulerend) dari pajak lebih menonjol dibandingkan dengan fungsi penerimaan (budgeter). Namun, perlu diingat, setiap kebijakan yang langsung berdampak pada penurunan penerimaan sebaiknya dilakukan sementara.
Mengutip Jean-François Wen dalam Special Series on Covid-19 IMF bertajuk "Temporary Investment Incentives", untuk memastikan efektivitas insentif yang bertujuan untuk memberi stimulus pada perekonomian atau dunia usaha di saat pandemi, durasinya dibatasi.
Efektivitas insentif juga akan tergantung pada struktur sistem pajaknya. Insentif temporer di negara-negara yang sebelumnya sudah memiliki fasilitas dan pengecualian sektoral cukup luas dinilai cenderung tidak menguntungkan wajib pajak. Alhasil, ada risiko sepi peminat.
Oleh karena itu, Hari Pajak yang jatuh pada pertengahan tahun, 14 Juli, sebaiknya dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi dan memastikan setiap langkah yang sudah diambil tepat. Jangan sampai, tidak ada satupun fungsi pajak yang optimal tahun ini. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.