SETELAH memaparkan catatan umum hasil studi komparasi DDTC Fiscal Research atas penggunaan sejumlah instrumen pajak Indonesia dengan negara lain dalam memitigasi efek virus Corona, kali ini, ada penjabaran catatan khusus masing-masing instrumen pajak yang diambil pemerintah.
Seperti diketahui, setidaknya ada 7 respons kebijakan pajak (di luar cukai dan kepabeanan) yang dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini. Sejumlah kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 , Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-156/PJ/2020, dan Peraturan Menteri Keuangan No.23/PMK.03/2020.
Adapun hasil telaah atas komparasi masing-masing kebijakan adalah sebagai berikut.
Pertama, penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT). Penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% berlaku pada tahun pajak 2020 dan 2021. Selanjutnya, tarif PPh badan akan menjadi 20% pada 2022.
Untuk wajib pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbuka, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3% lebih rendah dari tarif PPh badan.
Penurunan ini lebih cepat setahun dari rencana awal dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Dengan penurunan tarif PPh Badan tersebut, pemerintah berharap tidak banyak korporasi yang mengalami kebangkrutan hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Simak artikel ‘Sri Mulyani Ungkap Alasan Penurunan Tarif PPh Badan Masuk Perppu’.
Dari studi komparasi hingga per 30 Maret 2020, hanya ada dua negara lain yang berencana menurunkan tarif PPh Badan yakni Brazil dan Kenya. Kenya menurunkan tarif dari 30% menjadi 25%, sedangkan Brazil baru mewacanakannya. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Indonesia bisa dianggap jauh lebih progresif dan berorientasi pada upaya meringankan seluruh wajib pajak badan tanpa kecuali.
Kedua, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan seperti tercantum pada Perppu 1/2020 dan KEP-156/2020. Hal ini mencakup jatuh tempo pengajuan keberatan, jatuh tempo pengembalian kelebihan pembayaran pajak, penundaan pelaporan SPT, hingga penghapusan sanksi kewajiban perpajakan yang dilakukan pada keadaan kahar.
Hingga 30 Maret 2020, terdapat 85 negara melakukan kebijakan serupa. Sama dengan Indonesia, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas administrasi dan meringankan beban wajib pajak.
Ketiga, PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP). Melalui PMK 23/2020, pemerintah bermaksud menanggung 100% PPh Pasal 21 atas penghasilan dari pekerja dengan besaran sampai dengan Rp200 juta pada 440 sektor industri pengolahan dan/atau perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
Kebijakan berupa pengurangan, pembebasan, dan pajak ditanggung pemerintah atas penghasilan karyawan juga dilakukan oleh 11 negara lain. Negara tersebut antara lain Afrika Selatan, Italia, Maroko, Nigeria, Korea Selatan dan sebagainya. Kebijakan ini lebih ditujukan untuk menjaga daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat.
Keempat, pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% kepada 102 sektor tertentu dan/atau perusahaan KITE melalui PMK 23/2020. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah memberikan ruang arus kas bagi perusahaan yang mengalami tekanan ekonomi.
Berdasarkan studi DDTC Fiscal Research, hingga per 30 Maret 2020 terdapat 15 negara yang menggunakan instrumen yang serupa. Sebagai contoh, Malaysia, Chile, Selandia Baru, dan Austria.
Kelima, kebijakan pembebasan PPh Pasal 22 atas impor seperti tercantum dalam PMK 23/2020. Klausul serupa yang bertujuan untuk menjamin cash flow dan kompensasi switching cost kegiatan impor tersebut juga dilakukan oleh tiga negara lain yaitu Brazil, Uni Emirat Arab, dan Bangladesh. Sebagai catatan, kebijakan pengenaan withholding tax atas impor hanya dilakukan di beberapa negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Keenam, pengaturan atas pajak bagi e-commerce. Lewat Perppu 1/2020, terdapat penegasan atas kewajiban atas PPh dan PPN bagi Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. Selain dalam rangka menjamin level playing field transaksi e-commerce dalam dan luar negeri, klausul ini juga dimaksudkan sebagai upaya menjaga basis pemajakan yang adil bagi Indonesia.
Hingga saat ini, tidak ada negara lain yang mengambil kebijakan serupa padahal terdapat lonjakan aktivitas ekonomi dan sosial secara digital. Dalam hal ini, pemerintah mempertimbangkan bahwa momentum meningkatnya shifting aktivitas melalui platform digital asing yang meningkat harusnya juga selaras dengan meningkatnya pembayaran pajak mereka.
Ketujuh, kebijakan restitusi PPN dipercepat. Di Indonesia hal ini diberikan kepada 102 sektor tertentu dan/atau perusahaan KITE selama April-September 2020. Setidaknya terdapat enam negara yang menerapkan hal serupa yaitu China, Latvia, Republik Dominika, Uni Emirat Arab, Australia, dan Islandia.
Dari pemetaan dan perbandingan atas instrumen pajak yang diberikan oleh Indonesia dengan tren negara lain, dapat disimpulkan bahwa secara umum, skema dan jenis instrumen pajak yang diambil oleh Indonesia selaras dan dalam beberapa hal justru lebih progresif dibandingkan dengan negara lain.
Sekali lagi, ini membuktikan kehadiran nyata pajak yang bersifat regulerend dan bersama-sama dengan sektor lain berupaya menjamin ketahanan ekonomi Indonesia. Simak pula Perspektif ‘Pajak Hadir Lawan Dampak Korona’.*