Presiden RI Joko Widodo. (Foto: Setkab)
RAUT muka Presiden Joko Widodo saat memberi arahan rapat terbatas percepatan penyerapan anggaran, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/7/2020) tampak serius. D hadapan sejumlah menteri kabinet dan dirjen yang hadir, wajahnya tertekuk.
Agaknya ia menahan jengkel, setelah pada rapat sebelumnya ia memarahi semua menterinya karena ketidakpekaan atas krisis dan penyerapan anggaran Covid-19 yang minim. Dalam rapat itu, untuk kesekian kalinya, Presiden kembali menekankan agar jajarannya memiliki sense of crisis.
Presiden menyebut dari waktu ke waktu prediksi ekonomi dunia kian memburuk. Awalnya prediksi pertumbuhan global tahun ini minus 2,5%, lalu tiba-tiba jadi minus 5,2%, terakhir minus 6%-6,7%. Kelesuan ekonomi ini juga dialami Indonesia yang kuartal I hanya tumbuh 2,97% dari biasanya 5%.
“Meski angka kuartal II belum keluar, tapi kelihatan sekali ada penurunan demand, suplai, produksi, terganggu dan rusak semua. Jadi demand, suplai, produksi rusak semua. Jadi, jangan biasa-biasa saja. Karena saya merasakan, ini mengerikan. Bukan hal yang biasa, ini mengerikan,” tegasnya.
Pesan yang diungkapkan Presiden Jokowi rasanya tidak mengada-ada. Sejak korban pertama virus Corona (Covid-19) Indonesia diumumkan awal Maret 2020, nyaris seluruh tata dan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita berubah.
Orang tidak boleh lagi berkumpul, bekerja dan sekolah harus dari rumah. Izin keramaian termasuk pernikahan disetop. Di banyak pertemuan ditekankan protokol kesehatan. Berbagai rencana ekonomi nasional pun berubah arah. Prioritas pemerintah bergeser ke sektor kesehatan.
Tidak hanya di pemerintah pusat, tetapi juga di pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hampir semua anggaran direlokasi ke sektor kesehatan. Pemerintah menerbitkan Perpu No. 1/2020 untuk melebarkan defisit anggaran, menurunkan tarif pajak, dan mengenakan pajak digital.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga mengucurkan berbagai insentif, terutama insentif pajak. Langkah ini juga diikuti hampir seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten. Bahkan boleh dibilang, pada tahun inilah musim puncak insentif pajak daerah terjadi.
Namun, insentif itu hanya menahan, tidak membalikkan. Penurunan demand, suplai, dan produksi adalah pengertian lebih sopan dari dirumahkan atau pemutusan hubungan kerja (PHK). Sampai 12 Juli 2020, pemerintah mencatat lebih dari 3 juta tenaga kerja dirumahkan atau di-PHK.
Angka resmi ini separuh dari catatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia yang menyebut 6 jutaan. “Ada 3 juta lebih yang terdaftar. Jumlah ini bisa bertambah karena ada yang belum melapor,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Jumat (12/6/2020).
Penerimaan Pajak
KELESUAN itu juga dikonfirmasi data penerimaan pajak. Juni 2020, pemerintah merilis realisasi pajak penghasilan (PPh) badan per Mei 2020 (yoy) terkontraksi 20,46%, lebih dalam dari kontraksi April 15,23%. Pajak pertambahan nilai (PPN) terkontraksi 8,0%, berbalik dari April yang plus 1,9%.
Tak pelak, pada Jumat (19/6/2020), pemerintah akhirnya mengoreksi ke bawah target pertumbuhan ekonomi tahun ini, dari semula 2,3% menjadi minus 0,4%-1%, sejalan dengan perkiraan kontraksi cukup dalam pada pertumbuhan ekonomi kuartal II/2020 sebesar 3,8%.
Indonesia mungkin lebih beruntung. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini terkontraksi 6%-7,6%. Proyeksi ini lebih rendah dari World Bank yang minus 5,2% dan International Monetary Fund yang minus 4,9%.
Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI (%)
Lembaga | 2020 | 2021 |
IMF | -0,3 | 6,1 |
OECD | -2,8 – -3,9 | 2,6 – 5,2 |
World Bank | 0 | 4,8 |
Kementerian Keuangan | -0,4 – 1 | 4,5 – 5,5 |
Bank Indonesia | 0,9 – 1,9 | 5 – 6 |
ADB | -1 | 5,3 |
Moodys | -0,8 | 6,1 |
Morgan Stanley | -1 | 5,8 |
Bank Danamon | -0,6 | - |
Bank Mandiri | 0,02 | - |
CIMB Niaga | 0,1 | - |
*Prediksi Juni 2020
Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath mengatakan dunia akan mengalami krisis terburuk sejak Depresi Besar era 1930-an. Selain itu, krisis the Great Lockdown ini merupakan krisis yang tidak pernah terjadi. Pasalnya, krisis ini dipicu pandemi Covid-19 yang segera menjelma jadi krisis ekonomi.
“Untuk pertama kalinya sejak Depresi Besar, baik negara berkembang maupun negara maju akan mengalami resesi pada 2020. Pertumbuhan ekonomi tampak akan jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan prediksi sebelumnya,” katanya, Rabu (24/6/2020).
Dalam kondisi itu, sambung Gita, sedikitnya 100 negara sudah mengajukan permintaan dana talangan untuk menangani pandemi tersebut. Bersamaan dengan itu, ada lebih dari 8 juta korban infeksi Covid-19 di seluruh dunia, terbanyak di Amerika Serikat, Brasil, Rusia, India, dan Inggris.
Ujung dari kondisi global yang tidak menggembirakan ini tidak lain adalah semakin sulitnya Indonesia menggapai target pertumbuhan ekonomi mendekati 7% seperti yang direncanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2020-2024.
Apalagi, beban anggaran penanganan pandemi Covid-19 ini sangat besar. Hampir bisa dipastikan, pemerintah akan terus menumpuk utang sampai 2022 untuk menambal pembiayaan, seraya memperlebar batas defisit anggaran di atas 3% seperti telah ditetapkan Perpu No.1/2020.
Ditambah dengan penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 20%, seperti situasi 2009-2010 ketika tarif PPh badan diturunkan dari 30% menjadi 25%, maka penerimaan pajak sekaligus tax ratio akan bertahan pada tren rendah.
Dengan demikian, harapan pulihnya kinerja penerimaan berarti akan dimulai pada 2023. Namun, pada saat itu, negara akan cenderung melakukan konsolidasi fiskal untuk mencicil utang dengan menahan defisit anggaran di bawah 3%. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Menyelamatkan Ekonomi
MEMANG ini pilihan sulit, tetapi pemerintah harus menyelamatkan ekonomi. Ekonom dan Mantan Menteri Keuangan 2013-2014 M. Chatib Basri menilai untuk menyelamatkan situasi, pemerintah masih punya ruang fiskal melebarkan defisit hingga 7%-8% dari produk domestik bruto (PDB).
Ia mengakui situasi pandemi ini lebih berat dari kondisi krisis moneter 1998 maupun krisis keuangan 2008. Karena itu, pemerintah harus mengambil langkah taktis, termasuk dengan menaikkan defisit fiskal untuk menyelamatkan perekonomian.
Chatib memerinci, kenaikan defisit APBN terhadap PDB pada 2020 menjadi 5,07% belum cukup meng-cover kelompok menengah yang juga sangat rentan masuk ke jurang kemiskinan dan sektor usaha yang terdampak. Kelompok ini ada 115 juta dengan penghasilan rata-rata di bawah Rp 5 juta,
Menurut dia, kelompok ini seharusnya mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah karena kebijakan pembatasan sosial. Maka, ruang defisit untuk kelompok ini bisa ditambah 1% dari PDB untuk memberikan bantuan selama 4 bulan.
"Yang paling penting support masyarakat yang memiliki tabungan tipis yang tidak dapat bantuan sosial, ini mudah sekali jatuh kepada kemiskinan. Karena itu, bansos perlu diperluas," kata Chatib Basri, Rabu (24/6/2020).
Namun, dalam kondisi seperti itu, hampir semua lembaga memprediksi tahun depan konsumsi akan kembali pulih dan mengangkat pertumbuhan ekonomi sekitar 5%. Beberapa lembaga seperti IMF dan Moodys bahkan percaya pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menyentuh 6%.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa tembus 6% karena dua faktor. Pertama perkiraan ekonomi pulih setelah pandemi Covid-19, kedua pertumbuhan tahun ini relatif rendah, sehingga kalau tahun depan ekonomi membaik sedikit, pertumbuhan sudah tinggi.
Inilah sebenarnya momentum yang kita harapkan. Tahun depan, paling tidak dimulai pada kuartal IV/2020, permintaan, suplai, dan produksi, sudah kembali mendekati normal. Saat itu, pertumbuhan ekonomi akan terkerek, dan kinerja penerimaan pajak sekaligus terangkat.
Dengan demikian, tren melemahnya penerimaan ini akan berlangsung sementara, sehingga pada 2023 setelah era ekspansi fiskal sekaligus relaksasi pajak berakhir, perekonomian kita sudah bisa tumbuh mendekati 6% dan membiayai cicilan utang. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.