JAKARTA, DDTCNews - Asosiasi Blockchain Indonesia menilai ketentuan PPh Pasal 22 atas penjualan aset kripto telah mendorong banyak investor kripto melakukan transaksi melalui exchanger asing.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia Yudhono Rawis menyebut sejumlah investor memilih bertransaksi melalui exchanger asing agar tidak dikenai pajak. Menurutnya, hal itu menjadi salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan industri kripto Indonesia.
"Karena pasar kripto itu tidak terbatas, jadi kalau misalnya user mau beli Bitcoin, contohnya, dia bisa memilih untuk beli mungkin di exchange di luar atau pun di decentralized exchange," katanya dalam rapat panja RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) di Komisi XI DPR, dikutip pada Senin (29/9/2025).
Kepada Komisi XI DPR, Yudhono lantas meminta agar kebijakan pajak diarahkan untuk mendukung pertumbuhan industri kripto agar sesuai dengan perkembangan global. Menurutnya, pertumbuhan industri kripto pada akhirnya bakal menghasilkan manfaat ekonomi yang bagus untuk Indonesia.
Merespons pendapat Yudhono, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan pemerintah mengubah ketentuan pemajakan kripto sejalan dengan pergeseran klasifikasi aset kripto dari komoditas menjadi instrumen keuangan, berdasarkan UU PPSK. Sebagai instrumen keuangan, penyerahan aset kripto kini tidak lagi dikenai PPN, tetapi tarif PPh Pasal 22 final atas penjualan aset kripto naik dari 0,1% menjadi 0,21%.
Menurutnya, pengenaan pajak memang sebaiknya menunggu industri kripto berkembang lebih dulu. Komisi XI DPR juga sudah meminta pemerintah untuk melakukan usaha pembinaan kepada industri kripto.
Selain itu, Misbakhun melanjutkan, kenaikan tarif PPh Pasal 22 juga dapat dilakukan secara bertahap.
"Kita ini berharap industri ini berkembang dulu, tetapi Ditjen Pajak memilih untuk mengenakan PPh. Pajak 'kan begitu, Pak. Kalau enggak kena di kiri, kena di kanan. Enggak kena di atas, kena di bawah," ujarnya.
Pemerintah belum lama ini menerbitkan 3 peraturan baru mengenai perlakuan pajak atas transaksi aset kripto, yakni PMK 50/2025, PMK 53/2025, dan PMK 54/2025. Ketentuan tersebut mulai berlaku pada 1 Agustus 2025.
Aset kripto kini dikategorikan sebagai aset keuangan yang dipersamakan surat berharga sehingga tidak lagi dikenakan PPN. Meskipun demikian, penghasilan yang diperoleh dari transaksi aset kripto tetap dikenai PPh final Pasal 22.
Besaran tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah sebesar 0,21% dari nilai transaksi apabila dilakukan melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri.
Di sisi lain, PMK 50/2025 sebetulnya turut memerinci mekanisme penunjukan bursa (exchanger) asing sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan aset kripto. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1% akan dikenakan apabila transaksi dilakukan melalui PPMSE luar negeri.
Sejauh ini, Ditjen Pajak belum melakukan penunjukan exchanger asing sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan aset kripto. Dengan demikian, wajib pajak yang menjual aset kripto melalui exchanger asing harus menyetorkan sendiri pajaknya. (dik)