SURABAYA, DDTCNews - Keberadaan perusahaan cangkang atau shell company/corporation memiliki kaitan erat dengan upaya pengelakan pajak atau agressive tax planning.
Perusahaan cangkang yang biasanya berada di negara-negara tax haven kerap muncul dengan landasan jaminan kerahasiaan data yang ditawarkan yurisdiksi setempat.
Head of Financial Crime Practice Group Asia Pacific and Middle East, Moody's, Chua Choon Hong menyodorkan tujuh indikator yang bisa dipakai untuk mendeteksi perusahaan cangkang. Apa saja?
Tujuh indikator untuk mendeteksi perusahaan cangkang adalah jabatan direksi, kepemilikan sirkular, pemecahan risiko yurisdiksi, registrasi massal, ketimpangan usia antara individu kunci di perusahaan, dormansi, dan anomali finansial.
Mari kita bahas satu per satu.
Perusahaan-perusahaan cangkang biasanya memiliki jajaran direksi yang saling beririsan satu sama lain. Bahkan, seorang pejabat (satu nama individu) bisa saja menjabat sebagai direktur di 500 perusahaan yang berbeda.
"Bisakah Anda bayangkan jika Anda seorang direktur dari 500 perusahaan yang berbeda? Maka Anda sebenarnya tidak benar-benar melakukan operasi nyata," kata Chua dalam 12th International Tax Conference yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dikutip pada Jumat (29/8/2025).
Untuk melihat kejanggalan jabatan direksi ini, perlu diamati asosiasi seorang pejabat perusahaan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak aktif.
Menariknya, praktik ini, menurut Chua, bisa terjadi pada nama direktur yang berdomisili di Singapura, Indonesia, atau Malaysia sekalipun.
Kepemilikan sirkular biasanya terjadi dalam jaringan perusahaan dalam satu kepemilikan. Namun, hal ini terjadi ketika antarperusahaan dihubungkan tanpa ada Ultimate Beneficial Owner yang jelas di belakangnya.
"Mereka menggunakan sebuah perusahaan untuk memiliki perusahaan lain. Mereka menyebutnya kepemilikan sirkular. Jadi, ketika Anda melihat profil dan melihat akta pendiriannya, Anda hampir tidak pernah menemukan pemegang saham yang merupakan manusia," kata Chua.
Praktik tersebut bertujuan agar tidak ditemukan pemegang saham berupa individu tunggal atau ultimate beneficial owner di baliknya.
Secara sederhana, praktik ini dilakukan seorang warga negara tertentu untuk memiliki perusahaan di negara lainnya. Chua menyebutkan contoh, di Singapura tidak sedikit warga negara China yang memiliki kantor keluarga (family office) di Negeri Singa.
"Jika Anda warga China, seberapa paham Anda tentang iklim bisnis Singapura? Jadi mereka ini benar-benar memiliki bisnis atau sekadar mengelola perusahaan? Jadi, sangat menarik bahwa Anda melihat pemilik perusahaan tersebut sebenarnya bukan penduduk lokal," kata Chua.
Karakteristik lain dari perusahaan cangkang adalah didaftarkan secara massal. Chua mengungkapkan ada banyak contoh perusahaan yang memiliki alamat usaha yang sama.
"Jadi, Anda memiliki gedung tertentu, mungkin di Jakarta, mungkin di pusat kota Singapura, Anda mungkin hanya memiliki 100 unit kantor. Namun ketika Anda melakukan investigasi, kami menemukan bahwa Anda dapat memiliki hingga 5.000 perusahaan berbeda yang memiliki alamat pendaftaran yang sama di dalam gedung tersebut," kata Chua.
Menariknya, setelah ditelisik, banyak perusahaan di dalamnya yang menggunakan kantor bersama dan tidak ada operasi bisnis yang nyata.
Tidak jarang, perusahaan cangkang menggunakan orang-orang tua untuk dijadikan sebagai pejabat perusahaan. Terkadang, orang-orang ini hanya dimanfaatkan identitasnya saja, alias korban penipuan.
"Jadi saya melihat dan mendengar di Jepang, yang mereka lakukan adalah mencari orang-orang yang sangat tua. Mereka memberi orang tua itu uang, meminta KTP-nya, kemudian didaftarkan sebagai direktur perusahaan," kata Chua.
Menariknya, dalam beberapa kasus ditemukan bahwa beberapa pejabat perusahaan cangkang berusia di atas 100 tahun, atau sudah meninggal dunia.
Ini terjadi ketika perusahaan telah tidak beroperasi selama lebih dari lima tahun dalam sejarah perjalanannya. Dalam beberapa kasus, pelaku penggelapan pajak membutuhkan perusahaan yang sudah 'mati' untuk menyimpan asetnya.
"Jadi saya membeli perusahaan yang cukup tua. Lalu saya ganti namanya. Lalu saya pakai rekening bank yang sudah saya ambil alih, saya pakai untuk menyimpan aset. Nah, bank tidak akan tahu ini, tapi sebenarnya di dalam perusahaan, di bagian registrasi, perusahaan ini sudah tidak aktif selama 20 tahun," kata Chua.
Hal ini bisa dilihat dari kejanggalan laporan keuangan sebuah perusahaan. Misalnya, ada perusahaan yang tidak memiliki pendapatan, tiba-tiba mengalami untung atau rugi.
"Apakah melakukan pengalihan laba? Apakah sekarang tiba-tiba memegang banyak aset tanpa ada transaksi pendapatan? Jadi, inilah jenis anomali keuangan di mana Anda mulai melihat sebuah pernyataan, Anda perlu menciptakan alasan untuk meragukan, untuk melihat seperti apa profilnya," kata Chua.
Chua menambahkan, dalam diskrusus pajak internasional, cukup jarang publik menggali ke arah pencucian uang. Namun, publik perlu memahami bahwa ada banyak tumpang tindih antara transaksi ekonomi bawah tanah yang akan merugian perekonomian nasional.
"Ada kerugian bagi perusahaan yang membayar pajak yang semestinya, yang berkontribusi pada pembangunan bangsa," kata Chua. (sap)