Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - World Bank mencatat pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (DJP) masih belum mampu mengidentifikasi pengelakan pajak secara efektif.
Pajak yang diperoleh dari pemeriksaan PPN dan PPh badan juga cenderung turun. Hal ini mencerminkan makin rendahnya jumlah pengelakan pajak yang berhasil diidentifikasi.
"Hal ini bisa jadi disebabkan oleh penurunan jumlah pemeriksaan PPN. Penurunan ini juga dapat dikaitkan dengan pandemi Covid-19 yang mendorong pemerintah untuk melakukan pelonggaran demi mendukung kegiatan usaha," tulis World Bank dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Prospects December 2024: Funding Indonesia's Vision 2045, dikutip Kamis (19/12/2024).
Tak hanya itu, kebanyakan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP adalah pemeriksaan rutin untuk menindaklanjuti permohonan restitusi dari wajib pajak. Pemeriksaan tersebut harus diselesaikan dalam waktu 12 bulan.
Akibat adanya kewajiban untuk melakukan pemeriksaan rutin ini, DJP tidak memiliki sumber daya mencukupi untuk melakukan pemeriksaan yang lebih menghasilkan penerimaan negara.
Sebagai informasi, wajib pajak yang mengajukan restitusi bakal diperiksa oleh DJP bila restitusi diajukan berdasarkan Pasal 17B UU KUP. Pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu maksimal 12 bulan sejak permohonan restitusi diterima lengkap.
Melalui pemeriksaan, DJP dapat menekan nilai restitusi yang perlu dicairkan kepada wajib pajak. Dalam laporan tahunan DJP, nilai pajak yang berhasil dipertahankan pemeriksa dari permohonan restitusi yang diajukan oleh wajib pajak disebut sebagai refund discrepancy.
"Refund discrepancy merupakan jumlah pajak yang bisa dipertahankan oleh pemeriksa pajak atas permohonan pengembalian (restitusi) yang disampaikan oleh wajib pajak melalui SPT," tulis DJP dalam Laporan Tahunan DJP 2023.
Pada 2023, nilai refund discrepancy tercatat mencapai Rp22,84 triliun, tumbuh 100,8% bila dibandingkan dengan refund discrepancy pada 2022 yang senilai Rp11,37 triliun. (sap)