Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang perlu menentukan justifikasi yang tepat sehingga dapat menyelenggarakan amnesti pajak (tax amnesty).
Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji mengatakan justifikasi yang jelas diperlukan sebagai landasan dalam penyusunan RUU Pengampunan Pajak dan penentuan fitur-fitur dalam tax amnesty.
"Menurut saya tax amnesty itu adalah instrumen kebijakan yang extraordinary dalam konteks pajak. Ketika diadakan, dia harus memiliki justifikasi, relevansi, dan dasar pertimbangan yang sangat kuat. Kenapa? Supaya ini selaras dengan kebutuhan Indonesia dan memastikan sejauh mana keberhasilannya bila dikaitkan dengan tujuan yang tertuang dalam naskah akademis," ujarnya dalam acara yang digelar oleh KAPj IAI, Rabu (16/4/2025).
Menurut Bawono, setidaknya terdapat 6 justifikasi dari penyelenggaraan tax amnesty. Pertama, untuk menambah penerimaan. Namun, perlu dicatat, setoran pajak dari tax amnesty sering kali tidak sebesar tax amnesty jilid sebelumnya.
Contoh, pada 2016, pemerintah meraup Rp135 triliun berkat penyelenggaraan tax amnesty. Namun, pada 2022, tambahan penerimaan pajak yang diperoleh dari program pengungkapan sukarela (PPS) hanya senilai Rp61 triliun.
Meski potensi penerimaannya turun, kebutuhan penerimaan tetap bisa menjadi justifikasi bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak jangka pendek. "Apapun itu yang bisa menambal penerimaan pajak kita, pasti tetap relevan," ujar Bawono.
Kedua, memperluas basis pajak. Bawono menilai perluasan basis pajak bukanlah alasan yang relevan untuk menjustifikasi penyelenggaraan tax amnesty. Sebab, perluasan basis, baik subjek ataupun objek pajak telah terlaksana beberapa tahun terakhir, tanpa melalui tax amnesty dan sejenis.
Pada kurun waktu 2023 – 2024, jumlah wajib pajak terdaftar naik 17% dari 74 juta wajib pajak menjadi 86,7 juta wajib pajak. Pertumbuhan dobel digit tersebut dapat terealisasi meski tidak ada tax amnesty atau program sejenis.
Program-program yang menyokong perluasan basis pajak dalam beberapa tahun terakhir contohnya ialah penggunaan NIK sebagai NPWP, penetapan natura sebagai objek PPh, permintaan data kepada ILAP, automatic exchange of information (AEOI) dan sebagainya.
"Apakah tax amnesty diperlukan untuk memperluas basis pajak? Memang perlu, tetapi jangan-jangan sudah banyak instrumen lain yang sudah berhasil meningkatkan basis pajak dan mengikis shadow economy," tutur Bawono.
Ketiga, meningkatkan kepatuhan pajak. Dalam literatur, penyelenggaraan tax amnesty secara berulang justru berpotensi mengikis kepatuhan sukarela. Dengan demikian, kepatuhan bukanlah justifikasi yang tepat untuk kembali menyelenggarakan tax amnesty.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh James Alm, Sally Wallace, dan Jorge Martines-Vazquez dalam Do Tax Amnesties Work? The Revenue Effects of Tax Amnesties During the Transition in the Russian Federation, pengampunan pajak tidak memberikan manfaat kepatuhan secara permanen jika tidak dilengkapi dengan program peningkatan kepatuhan dan pengawasan.
Menurut Bawono, penyelenggaraan tax amnesty justru memberikan sinyal kepada wajib pajak bahwa otoritas pajak cenderung lemah dan tidak mampu melakukan penegakan hukum.
"Ketika tax amnesty dilakukan dan ada tendensi untuk melakukan hal tersebut, pemerintah bisa jadi dianggap lemah, bukan pemaaf," katanya.
Keempat, mendorong repatriasi harta dari luar negeri. Menurut Bawono, tax amnesty bukanlah faktor yang menentukan keputusan pelaku usaha dalam menempatkan modal. Keputusan repatriasi lebih didorong oleh faktor pajak selain tax amnesty dan faktor-faktor nonpajak.
Faktor pajak dimaksud ialah sistem pajak. Pemilik modal akan terdorong repatriasi jika yurisdiksi bergeser dari sistem worldwide ke sistem teritorial. Saat ini, Indonesia menganut sistem worldwide meski terdapat pengecualian terhadap dividen luar negeri yang direpatriasi ke dalam negeri.
Sementara itu, faktor nonpajak yang paling menentukan keputusan penempatan modal adalah rate of return. "Keputusan menaruh dana pada yurisdiksi ialah masalah return, risiko, yield, dan lainnya. Jika ada risiko valas, tentu mereka reluctant menempatkan dana di situ," tutur Bawono.
Kelima, mewujudkan keadilan. Bawono menuturkan tax amnesty bisa menjadi kebijakan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi, mewujudkan solidaritas, dan memastikan beban pajak terdistribusi secara merata.
Selama ini, lanjutnya, penerimaan pajak Indonesia disokong oleh segelintir wajib pajak yang berasal dari sektor-sektor tertentu. Menurut Bawono, penyelenggaraan tax amnesty bisa memperbaiki kondisi tersebut.
Tak hanya itu, tax amnesty bisa berperan sebagai solidarity tax yang dirancang mendorong orang kaya untuk memberikan kontribusi lebih negara. "Ketika ada isu ketidakadilan, solidarity tax sebagai top-up tax bagi orang tertentu ini bisa dipertimbangkan," ujarnya.
Keenam, sebagai jembatan ke era pajak baru. Bawono menjelaskan penyelenggaraan tax amnesty bisa menjadi penanda dari dimulainya implementasi coretax administration system, pendirian lembaga pajak baru, penetapan pungutan baru, dan lain-lain.
"Tax amnesty bisa dikaitkan dengan apa yang akan dilakukan pemerintah di era berikutnya. Apakah akan ada pembabakan seperti sebelum launching coretax, sebelum BPN, sebelum Pengadilan Pajak di bawah MA. Itu perlu kita lihat lebih lanjut," katanya. (rig)
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?
Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel dan dapatkan berita pilihan langsung di genggaman Anda.
Ikuti sekarang! Klik tautan: link.ddtc.co.id/WACDDTCNews