Guru Besar Ilmu Hukum Politik dan Pajak Unissula Edi Slamet.
JAKARTA, DDTCNews - Guru Besar Ilmu Hukum Politik dan Pajak Unissula Edi Slamet menilai Presiden Prabowo Subianto tetap perlu membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) meski Kabinet Merah Putih telah ditetapkan dan berjalan.
Edi memandang pembentukan BPN diperlukan untuk memperkuat otoritas pajak di tengah tantangan yang makin kompleks. Menurutnya, pembentukan BPN juga dapat menjadi pintu untuk mencapai penerimaan negara yang ditargetkan Prabowo sebesar 23%.
"Bayangkan tugas Kemenkeu sangat-sangat luar biasa, sementara penerimaan negara ini memerlukan perhatian secara khusus dan fokus karena lingkungan perpajakan mengalami pertumbuhan dan dinamika yang sangat luar biasa. Istilahnya tidak bisa disambi," katanya dalam acara Diskusi Kebijakan Perpajakan Kabinet Merah Putih IAI, Selasa (12/11/2024).
Edi menuturkan pembentukan BPN sejalan dengan amanat beberapa pasal pada UUD 1945. Contoh, Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur pengelolaan fiskal negara, sedangkan Pasal 23A UUD 1945 membicarakan ruang lingkup pemungutan negara.
Sementara itu, Pasal 17 UUD 1945 juga menyatakan setiap kementerian hanya mengurus satu urusan tertentu. Oleh karena itu, pembentukan BPN akan membuat negara memiliki satu badan yang khusus mengurusi penerimaan negara.
Selain itu, lanjut Edi, pembentukan BPN juga bertujuan memperkuat institusi yang ditugaskan untuk mengumpulkan penerimaan negara. Jika dibandingkan dengan otoritas pajak di negara lain, ruang gerak Ditjen Pajak (DJP) masih sangat terbatas karena berada di bawah Kemenkeu.
Keterbatasan ruang gerak ini antara lain tecermin dari keleluasaan dalam mendesain organisasi internal, mengalokasikan anggaran, kebijakan mutasi dan promosi pegawai, merekrut dan memecat pegawai, serta menegosiasikan gaji pegawai.
Mengenai pegawai, setiap kebijakan bahkan harus dibahas bersama Kemenkeu dan Kemenpan-RB, serta terikat dengan UU ASN.
"Memang otoritas perpajakan ini sangat sulit untuk bergerak cepat mengikuti irama atau dinamika dari kegiatan ekonomi masyarakat," ujarnya.
Edi menyebut reformasi kelembagaan melalui pembentukan BPN akan sejalan dengan upaya Prabowo meningkatkan penerimaan negara menjadi 23% PDB.
Menurutnya, rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) perlu ditingkatkan dari saat ini sekitar 10% menjadi 15% hingga 16% PDB, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dikerek dari sekitar 2% menjadi 6% hingga 7% PDB.
Selain itu, optimalisasi penerimaan negara juga membutuhkan reformasi dari sisi teknologi seperti implementasi coretax administration system. Merujuk perhitungan pemerintah, coretax diperkirakan menambah penerimaan negara sebesar 1,5% PDB dalam 5 tahun.
Sejalan dengan hal tersebut, pentingnya isu perpajakan di era pemerintahan Prabowo juga turut menjadi perhatian DDTC. Baru-baru ini, DDTC menerbitkan 4 buku terbaru yang dapat menjadi panduan bagi publik untuk belajar perpajakan dan memahami arah kebijakan ke depan.
Untuk Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran, buku ini relevan diletakkan dalam konteks Kabinet Merah Putih. Terlebih, gagasan penulis menyentuh agenda perpajakan yang telah diusung Prabowo-Gibran dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat, 17 Program Prioritas, ataupun Asta Cita.
Buku tersebut juga merupakan hasil kolaborasi ahli dan profesi, mulai dari praktisi pajak, akademisi, aparatur sipil negara (ASN), konsultan pajak, wiraswasta, jurnalis, karyawan swasta, hingga mahasiswa. Artinya, gagasan-gagasan kaya perspektif, baik dari sisi otoritas maupun wajib pajak sekarang dan masa depan.
Sebagai tambahan informasi, hingga saat ini, DDTC telah menerbitkan 27 buku. Rencananya, sampai dengan akhir 2024, DDTC akan melengkapinya menjadi 30 buku. Simak Susun dan Tinjau Kebijakan Pajak Kabinet Merah Putih, Baca 4 Buku DDTC. (rig)