JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mencatat rata-rata waktu penyelesaian sengketa pajak transfer pricing melalui pengajuan Mutual Agreement Procedure (MAP) ialah sekitar 2,42 tahun atau 29,10 bulan sepanjang 2020-2024.
Kepala Subdirektorat Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Pajak Internasional DJP Agus Kuncara mengatakan waktu penyelesaian sengketa tersebut lebih pendek ketimbang proses keberatan dan banding (domestic remedies) sekitar 3,44 tahun atau 41,29 bulan.
“Waktu penyelesaian [domestic remedies] bahkan bisa lebih lama lagi jika wajib pajak menempuh judicial review. Tambahan waktunya itu bisa 1–2 tahun,” katanya dalam acara 12th International Tax Conference yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada Kamis (28/8/2025).
Perlu diketahui, MAP adalah solusi (remedi) penyelesaian sengketa di luar ranah penyelesaian sengketa domestik melalui upaya litigasi, seperti keberatan atau banding.
Ketika subjek pajak dalam negeri dari masing-masing negara yang mengadakan P3B dikenakan pajak tidak sesuai dengan ketentuan P3B, subjek pajak tersebut bisa mengajukan klaim melalui MAP. MAP dianggap spesial karena melalui konsultasi dan bukan litigasi.
Tak hanya dipakai oleh otoritas yang berwenang dalam penyelesaian sengketa pajak berganda yuridis, MAP juga dipakai untuk mengeliminasi pajak berganda ekonomis yang timbul dari penyesuaian transfer pricing.
MAP tidak dimaksudkan untuk mencabut hak wajib pajak dalam penyelesaian sengketa melalui upaya litigasi domestik. Artinya, akses untuk mengajukan permohonan MAP tetap harus terbuka bagi wajib pajak, meskipun wajib pajak telah mencoba jalur penyelesaian domestik.
“Jadi, orientasi MAP ini bukan soal menang atau kalah, melainkan kolaborasi untuk mencari solusi,” jelas Agus.
Namun demikian, ada pendekatan lain yang bisa dilakukan oleh wajib pajak untuk terhindar dari sengketa transfer pricing, yaitu melalui Kesepakatan Harga Transfer atau Advance Pricing Agreement (APA).
APA adalah suatu prosedur penyelesaian permasalahan transfer pricing yang dilakukan sebelum terjadinya suatu sengketa. Dalam hal ini, metodologi penentuan harga transfer disepakati di awal untuk beberapa jenis transaksi tertentu.
Merujuk pada PMK 172/2023, APA adalah perjanjian tertulis antara dirjen pajak dan wajib pajak atau otoritas pajak mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya untuk menyepakati kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
Terdapat 2 tipe APA, yaitu secara unilateral (wajib pajak dengan satu otoritas pajak), dan bilateral atau multilateral (wajib pajak dengan dua atau lebih otoritas pajak). Adapun PMK 172/2023 sudah mengakomodasi APA Multilateral.
Agus pun menguraikan beberapa keuntungan yang didapat, baik wajib pajak maupun otoritas pajak, dari pendekatan APA tersebut.
Untuk wajib pajak, antara lain:
Untuk DJP, antara lain:
“Oleh karena itu, kami mendorong wajib pajak untuk dapat memanfaatkan prosedur APA tersebut karena lebih berkepastian, sekaligus menjamin stabilitas dan prediktabilitas terkait transaksi lintas batas,” jelas Agus.
Dia juga mengungkapkan Indonesia merupakan negara dengan rasio APA terhadap kasus transfer pricing MAP tertinggi ke-6 secara global. Berdasarkan data OECD, rasio APA Indonesia pada 2023 sebesar 56,7%, sedangkan MAP sebesar 43,3%. (rig)