JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah bakal mengoptimalisasi penerapan beberapa regulasi pajak baru untuk mencapai target penerimaan pajak pada tahun ini.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah mulai mengimplementasikan sejumlah regulasi baru seperti pajak atas aset kripto, pemungutan pajak oleh bank bulion, serta penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut pajak.
"Kebijakan sebagian besar sudah kita telurkan dan sekarang kita implementasikan. Kita lihat perkembangannya dan evaluasi, karena ini tinggal 4 - 5 bulan," ujarnya, Selasa (12/8/2025).
Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan di bidang pajak dalam beberapa waktu terakhir. Mengenai ketentuan pemajakan terbaru atas aset kripto, telah terbit PMK 50/2025, PMK 52/2025, dan PMK 54/2025.
Kemudian, ada PMK 51/2025, PMK 52/2025, dan PMK 54/2025 mengenai ketentuan perpajakan atas kegiatan usaha bulion. Adapun soal penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut pajak, telah terbit PMK 37/2025 dan PER-15/PJ/2025.
Yon menyatakan DJP bakal melaksanakan kegiatan sosialisasi lebih intensif mengenai berbagai kebijakan pajak yang terbaru kepada para pemangku pementingan.
Selain itu, DJP juga akan melakukan intensifikasi pajak sekaligus menggencarkan pengawasan kepada wajib pajak. Menurutnya, beberapa upaya ini sudah menjadi rutinitas DJP yang bertujuan memastikan setoran pajak mencapai target.
"Pada semester II/2025 ini kita akan fokus, seperti biasa untuk mengelaborasi, mengintensifkan penggalian potensi pajak, dan pengawasan pajak yang memang sudah ada," kata Yon.
Pemerintah menargetkan penerimaan pajak senilai Rp2.189,3 triliun pada 2025. Realisasi penerimaan pada semester I/2025 baru senilai Rp831,3 triliun atau 38% dari target.
Artinya, pemerintah masih harus mengumpulkan setoran pajak senilai Rp1.358 triliun hingga akhir tahun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan penerimaan pajak hanya terkumpul Rp2.076,9 triliun atau sebesar 94,9% dari target pada akhir tahun. Salah satu faktor penyebabnya ialah kebijakan PPN 12% yang hanya berlaku untuk barang mewah, dan tidak jadi diterapkan pada seluruh barang dan/atau jasa. (dik)