Ilustrasi.
SETIAP akhir bulan, Aika, seorang pegawai swasta di Jakarta, membuka slip gajinya dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, slip gaji menjadi penanda bahwa kerja kerasnya selama sebulan dihargai. Namun di sisi lain, ada angka yang membuatnya mengernyit, salah satunya potongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21.
"Ternyata potongan PPh [Pasal] 21 gede banget. Lumayan berasa, ya, Wak," katanya.
Pernyataan Aika ini menggambarkan keresahan banyak pekerja formal di Indonesia. Setiap bulan, atas penghasilan mereka dipotong pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, beban potongan pajak tersebut terasa makin berat. Seiring kenaikan biaya hidup, beban pajak dirasa tidak lagi sebanding dengan kemampuan ekonominya.
Menurutnya, beban pajak terasa berat salah satunya karena ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) senilai Rp54 juta per tahun tak kunjung diperbarui. Pemerintah terakhir kali menyesuaikan threshold PTKP pada 2016.
"Sudah 9 tahun tidak berubah, sementara inflasi dan biaya hidup terus naik," ujarnya.
Dalam situasi ekonomi yang serba sulit, Aika menilai threshold PTKP selayaknya dinaikkan menjadi Rp72 juta atau Rp84 juta per tahun. Meski begitu, lanjutnya, meringankan beban pajak bagi kelompok masyarakat kelas menengah sebetulnya tidak hanya dengan menaikkan threshold PTKP.
Seperti di luar negeri, pemerintah antara lain dapat menjadikan beberapa pengeluaran sebagai pengurang penghasilan atau bahkan kredit pajak. Beberapa biaya yang dapat dipertimbangkan sebagai pengurang pajak misalnya biaya transportasi ke tempat kerja atau biaya berlangganan internet untuk bekerja dari rumah.
Dewi, seorang media strategy manager di sebuah agensi iklan, sependapat dengan Aika. Di tengah tekanan ekonomi yang kian menghimpit, pemerintah perlu memberikan keringanan kepada masyarakat, terutama dari sisi pajak.
Dewi menilai menaikkan threshold PTKP dapat menjadi solusi agar beban pajak para pekerja terasa lebih ringan. Meski demikian, dia juga sepakat meringankan beban ekonomi wajib pajak dapat dilakukan dengan menjadikan beberapa biaya sebagai pengurang pajak.
"Pengurang pajak seperti ini lebih cocok untuk kebutuhan yang sifatnya primer, let's say tempat tinggal atau transportasi ke kantor," ujarnya.
Dia menyebut salah satu pengeluaran terbesarnya setiap bulan adalah membayar angsuran kredit pemilikan rumah (KPR). Apabila bunga atas angsuran KPR menjadi salah satu pengurang pajak, tentu akan melegakan.
Dewi mengakui menanggung beban pajak penghasilan memang terasa berat. Oleh karena itu, dia turut mengajukan benefit berupa PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan ketika proses negosiasi pekerjaan.
Beruntung, dia kini menikmati "subsidi" PPh Pasal 21 dari perusahaan tempatnya bekerja sebesar 50%.
"Di pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, aku tidak mendapatkan privilese itu karena dulu memang tidak mengerti. Beberapa tahun terakhir setelah tahu cara menghitung gaji dan pajak, aku menegosiasikan itu saat offering di awal," katanya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat menyebut kondisi ekonomi para pekerja sedang tidak baik-baik saja. Walaupun ada kenaikan upah minimum sebesar 6,5% pada tahun ini, daya beli dan kesejahteraan para pekerja belum membaik.
Penghasilan mayoritas pekerja dinilai masih sulit menjangkau harga pangan dan sandang yang terus melambung.
Sebagai gambaran, seorang pekerja dengan gaji Rp5,4 juta di Jakarta harus menghadapi beberapa potongan atas upah yang diterima. Potongan tersebut antara lain berasal dari iuran BPJS Kesehatan, iuran jaminan hari tua dan jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan, serta PPh Pasal 21.
Dengan ekonomi yang serba tanggung, dia mengibaratkan pekerja pada kelompok masyarakat kelas menengah ini sedang berada pada kondisi terjepit. Mereka tidak bisa menikmati berbagai skema bantuan sosial yang ditujukan kepada kelompok masyarakat bawah, sementara untuk hidup layak dengan mengandalkan gaji juga tak sanggup.
Dalam kondisi tersebut, dia memandang menaikkan threshold PTKP akan sangat membantu para pekerja melonggarkan ikat pinggang.
"Saya kira sudah saatnya pemerintah menaikkan PTKP. Mungkin menjadi Rp10 juta [per bulan] karena kami yang di bawah masih berat untuk dikenakan pajak," katanya.
Ia memahami menaikkan threshold PTKP bukan pilihan mudah bagi pemerintah, mengingat ada target penerimaan pajak yang mesti dikejar. Agar penerimaan pajak tetap optimal, dia menyarankan pemerintah untuk lebih serius mengawasi kepatuhan pajak pada kalangan orang kaya.
"Mungkin buruh lebih gampang karena terkonsentrasi dalam 1 tempat dan langsung dipotong oleh perusahaan. Tetapi seharusnya pemerintah bisa dong mengejar pajak dari orang-orang kakap agar membayar bagiannya kepada negara," imbuhnya.
Andai usulan kenaikan threshold PTKP tak bisa dipenuhi, Mirah berharap pemerintah tetap memberikan stimulus untuk membantu ekonomi kelas menengah. Misal, kembali memberikan subsidi tarif listrik atau memperluas jangkauan PPh Pasal 21 DTP – yang saat ini dikhususkan untuk pekerja di sektor padat karya dan memiliki gaji maksimal Rp3,5 juta per bulan.
Usulan menaikkan threshold PTKP juga datang dari kalangan pengusaha. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam berpandangan kenaikan threshold PTKP bisa menjadi salah satu strategi meningkatkan konsumsi domestik, khususnya masyarakat ekonomi kelas menengah.
Ia menilai insentif PPh 21 DTP untuk pegawai sektor padat karya yang berlaku tahun ini sudah bagus. Namun, masyarakat kelas menengah masih membutuhkan tambahan keringanan, seperti kenaikan PTKP.
"Apa pun bentuk insentifnya kan pasti berharga, tapi sebenarnya alangkah bagusnya kalau kita bisa meningkatkan PTKP mereka [masyarakat kelas menengah]," katanya.
Namun demikian, Tenaga Ahli Kantor Komunikasi Kepresidenan Fithra Faisal dalam sebuah kesempatan menjelaskan menaikkan threshold PTKP belum menjadi agenda pemerintah dalam waktu dekat. Guna menyelamatkan masyarakat dari tekanan ekonomi, pemerintah lebih memilih memberikan stimulus.
Tujuan dari stimulus tersebut sama dengan peningkatan threshold PTKP, yakni mendorong konsumsi masyarakat.
"Soal perdebatan antara subsidi [stimulus] atau pengurangan pajak, dalam beberapa tinjauan empiris subsidi itu lebih memiliki dampak pengganda ketimbang kalau kita mengurangi pajak," ujarnya.
Daripada kenaikan threshold PTKP atau keringanan pajak, Fithra meyakini efek kebijakan stimulus bisa lebih cepat dirasakan masyarakat. Melalui stimulus, masyarakat dinilai bisa dengan cepat melakukan belanja sehingga perekonomian juga mampu tumbuh lebih tinggi. (dik)