KEBIJAKAN PERPAJAKAN

Bea Masuk Resiprokal AS, Sri Mulyani: Tak Ada Ilmu Ekonominya di Situ

Muhamad Wildan
Selasa, 08 April 2025 | 16.05 WIB
Bea Masuk Resiprokal AS, Sri Mulyani: Tak Ada Ilmu Ekonominya di Situ

Presiden Prabowo Subianto (kiri) didampingi Menkeu Sri Mulyani (kanan) dan Seskab Teddy Indra Wijaya mendengarkan paparan presentasi dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Senayan, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Acara bertema Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Indonesia di Tengah Gelombang Perang Tarif Perdagangan itu dihadiri jajaran menteri, Dewan Ekonomi Nasional, BI, OJK LPS dan sejumlah pemangku kepentingan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd/Spt.

JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memandang pengenaan bea masuk resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) terhadap seluruh yurisdiksi tidak dapat dijelaskan oleh ilmu ekonomi.

Dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI, Sri Mulyani menyebut bea masuk resiprokal yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump tersebut bertujuan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan antara AS dan negara mitra dagang.

"Tujuannya menutup defisit. Tak ada ilmu ekonominya di situ. Ini artinya, saya tidak ingin bergantung atau beli kepada orang lain lebih banyak dari apa yang saya bisa jual kepada orang lain. It's purely transactional, tidak ada landasan ilmu ekonominya," katanya, Selasa (8/4/2025).

Menurut Sri Mulyani, pengenaan bea masuk resiprokal oleh AS merupakan cerminan dari pergeseran paradigma dunia dari idealisme menuju pragmatisme dan realisme.

Institusi global yang selama ini menjadi penjaga tatanan perekonomian global pasca perang dunia kedua justru ditinggalkan oleh AS yang kini lebih mengedepankan unilateralisme.

"Dunia sekarang di-govern oleh realist. Jadi, pragmatic and realism rather than theoretical ideology yang selama ini meng-govern dunia sejak perang dunia kedua. Ini menjadi realita yang jauh lebih cepat dan harus segera kita respons," ujar Sri Mulyani.

Bea masuk resiprokal yang diterapkan oleh AS justru direspons dengan retaliasi yang sama kerasnya oleh China. Hal ini dinilai bakal memperparah situasi perekonomian dan keuangan global serta akan memberikan dampak bagi Indonesia.

"China yang tadinya dianggap akan menahan diri justru melakukan retaliasi yang sama kerasnya. Ini menimbulkan suatu eskalasi, makanya pemburukan di pasar uang dalam 2 hari terakhir ini karena respons China menyampaikan retaliasi," tutur Sri Mulyani.

Tak hanya itu, yurisdiksi-yurisdiksi lain antara lain seperti Uni Eropa sudah mempersiapkan beragam instrumen retaliasi sembari terus mengedepankan negosiasi. Adapun Kanada juga sudah menerapkan retaliasi.

Menurut Sri Mulyani, kondisi ini harus direspons secara pragmatis dengan pemikiran yang terbuka. "Kita harus agile dan cepat. Policy apa yang bisa kita lakukan segera dan bisa mengoreksi atau menggunakan opportunity harus bisa kita lakukan sekarang," katanya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.