PMK 168/2023

Dinilai Berat, Ikatan Dokter Anak Minta Menkeu Revisi Aturan PPh 21

Muhamad Wildan
Senin, 17 Maret 2025 | 16.51 WIB
Dinilai Berat, Ikatan Dokter Anak Minta Menkeu Revisi Aturan PPh 21

Ilustrasi. Petugas kesehatan memberikan imunisasi pada balita saat pelaksanaan pos pelayanan terpadu (posyandu) di Kantor Kelurahan Maliaro, Kota Ternate, Maluku Utara, Senin (18/9/2023). ANTARA FOTO/Andri Saputra/aww.

JAKARTA, DDTCNews - Sebanyak 5.496 dokter spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menyesuaikan ketentuan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dokter.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168/2023, PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dokter dikenakan berdasarkan penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional.

"Hal ini berdampak negatif bagi dokter yang mayoritas memberikan layanan kepada pasien JKN," tulis IDAI dalam surat yang ditujukan kepada menteri keuangan, Senin (17/3/2025).

IDAI mencatat PPh Pasal 21 dikenakan atas penghasilan bruto, bukan penghasilan riil yang diterima dokter. Pada praktiknya, dokter hanya menerima bagian dari tarif jasa medis karena harus berbagi dengan rumah sakit.

Namun, PPh Pasal 21 tetap dihitung dari penghasilan bruto yang dibayarkan pasien. Dengan skema ini, artinya dokter membayar pajak atas uang yang tidak mereka terima.

Pemotongan pajak yang didasarkan pada penghasilan bruto membuat dokter yang mendapatkan honorarium dari berbagai sumber, seperti seminar, pelatihan, atau jasa konsultasi lainnya, terkena pajak progresif yang lebih tinggi.

"Ini berpotensi membuat dokter harus membayar pajak tambahan 5% hingga 30% dari pendapatan riil yang mereka terima, yang pada akhirnya makin memberatkan," tulis IDAI.

IDAI pun menerangkan mayoritas dokter yang terdampak oleh PMK 168/2023 adalah dokter yang melayani pasien JKN. Pelayanan atas pasien JKN diberikan menggunakan tarif standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Bila pajak tetap dikenakan atas penghasilan bruto dan bukan penghasilan neto yang diterima, beban pajak yang ditanggung dokter akan makin tinggi. Hal ini akan menurunkan minat dokter untuk melayani pasien JKN.

"Dalam kebijakan ini, dokter dikenakan pajak seolah-olah mereka adalah perusahaan, di mana pajak dikenakan atas omset (penghasilan bruto), bukan laba bersih," tulis IDAI dalam suratnya.

Berkaca pada kondisi ini, IDAI mengajak Kemenkeu untuk berdialog dengan perwakilan IDAI dan meminta Kemenkeu untuk mengkaji ulang PMK 168/2023 dengan mempertimbangkan prinsip keadilan bagi dokter yang melayani masyarakat, khususnya pasien JKN.

"Sebagai bentuk protes atas kebijakan ini, kami mengusulkan penundaan pelaporan pajak tahun 2024 bagi dokter spesialis anak hingga adanya diskusi dan keputusan yang lebih adil dari Kemenkeu," tulis IDAI.

Sebagai informasi, PMK 168/2023 mengategorikan dokter sebagai bukan pegawai. Dalam Pasal 1 angka 12 PMK 168/2023, bukan pegawai didefinisikan sebagai orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan atas pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

PPh Pasal 21 untuk bukan pegawai dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 UU PPh dengan 50% dari penghasilan bruto yang diterima dalam 1 masa pajak.

Untuk jasa dokter yang yang berpraktik di rumah sakit atau klinik, penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar pasien melalui rumah sakit atau klinik sebelum dipotong biaya bagi hasil oleh rumah sakit atau klinik. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.