KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Sederet Tantangan DJBC Kumpulkan Penerimaan di 2025, Ada Downtrading

Dian Kurniati
Selasa, 14 Januari 2025 | 16.00 WIB
Sederet Tantangan DJBC Kumpulkan Penerimaan di 2025, Ada Downtrading

Pekerja memproduksi rokok Sigaret Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (12/12/2024). Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau pada 2025 sebesar Rp230,09 triliun atau turun sekitar Rp1,8 triliun bila dibandingkan target penerimaan cukai tembakau pada 2024 yakni sebesar Rp246,07 triliun. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mengungkapkan terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengumpulkan target penerimaan senilai Rp301,6 triliun pada tahun ini.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan tantangan dalam pengumpulan penerimaan ini antara lain berlanjutnya fenomena downtrading. Downtrading adalah perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih produk dengan tarif cukai yang lebih rendah.

"Dalam konteks hasil tembakau, fenomena ini menyebabkan pergeseran konsumsi hasil tembakau dengan tarif cukai yang lebih tinggi ke hasil tembakau dengan tarif cukai lebih rendah sehingga berpotensi menurunkan penerimaan cukai," katanya, dikutip pada Selasa (14/1/2025).

Nirwala mengatakan downtrading menjadi salah satu tantangan signifikan dalam mengejar target penerimaan pada 2025. Dalam beberapa waktu terakhir, produksi hasil tembakau golongan I menurun karena konsumen beralih ke golongan II dan golongan III.

Dia menjelaskan tantangan juga datang seiring kebijakan hilirisasi. Kebijakan hilirisasi seperti larangan ekspor mentah bertujuan mendorong pengolahan dalam negeri agar menghasilkan produk bernilai tambah yang lebih tinggi.

Pemerintah telah lebih dulu melarang ekspor nikel mentah, yang kini diikuti dengan larangan ekspor konsentrat tembaga mulai 1 Januari 2025. Meskipun kebijakan ini dapat mendukung pertumbuhan industri domestik dalam jangka panjang, hilangnya ekspor bahan mentah berdampak pada penerimaan bea keluar dalam jangka pendek.

Setelahnya, DJBC mencatat peningkatan penggunaan mekanisme free trade agreement (FTA) dalam importasi turut menjadi tantangan. Perjanjian FTA memberikan tarif impor yang lebih rendah, bahkan nol, bagi negara mitra dagang.

Peningkatan pemanfaatan FTA ini kemudian berdampak pada penurunan penerimaan bea masuk.

Selain itu, tantangan juga hadir karena ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global. Konflik internasional, perang dagang, dan perubahan kebijakan ekonomi global yang berlanjut berpotensi menghambat arus perdagangan internasional.

Permintaan terhadap komoditas tertentu dapat menurun, harga ekspor-impor menjadi fluktuatif, dan penurunan volume perdagangan dapat berdampak langsung pada penerimaan DJBC.

Terakhir, peredaran barang ilegal seperti rokok tanpa cukai dan barang yang tidak memenuhi standar juga menjadi tantangan penerimaan kepabeanan dan cukai. Peredaran barang ilegal mengurangi potensi penerimaan karena barang tersebut tidak dikenai bea masuk atau cukai.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, DJBC terus mengoptimalkan strategi pengawasan, melakukan penggalian potensi penerimaan baru, serta memanfaatkan teknologi dan data analitik guna mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan.

"Bauran antara kebijakan proaktif dan adaptasi terhadap dinamika global menjadi kunci keberhasilan dalam mengejar target penerimaan 2025," ujarnya.

Pada 2024, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai senilai Rp300,2 triliun atau tumbuh 4,9%. Meski demikian, penerimaan ini hanya 93,5% dari target Rp321 triliun.

Penerimaan tersebut terdiri atas cukai senilai Rp226,37 triliun, bea masuk senilai Rp53 triliun, dan bea keluar Rp20,9 triliun. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.