Prasati Taji yang kini ada di Museum Nasional Indonesia. (FB/Forkom Angon - KITLV KERN E12c). Sumber: Inibaru.
JAKARTA DDTCNews - Pemungutan pajak sudah ada sejak zaman nenek moyang. Berdasarkan sejumlah prasasti yang ditemukan dan dikaji, disebutkan bahwa pajak sudah dipungut pada era Mataram Kuno atau sejak abad ke-7 Masehi. Tentunya, nama pungutan pajak dan konsep pemungutannya berbeda dengan saat ini.
Salah satu jenis pajak yang dipungut di Era Mataram Kuno adalah pajak usaha. Sesuai namanya, pajak ini dikenakan terhadap warga yang melakukan usaha atau perdagangan. Pajak perdagangan ini dikenal sebagai panemas.
"Para pedagangan [sambewehara/sambyawahara] dipungut pajak oleh kakalangan madrawbya haji atau penarik pajak perdagangan," bunyi penggalan buku Jejak Pajak Indonesia Abad ke-7 sampai dengan 1966 yang diterbitkan Ditjen Pajak (DJP), dikutip pada Jumat (17/5/2024).
Prasasti Taji tertanggal 901 Masehi menjelaskan bahwa pedagang merupakan kelompok yang termasuk ke dalam wajib pajak atau disebut dengan warga kilalan.
Objek pajak dari pajak perdagangan saat ini adalah jenis komoditas perdagangan, contohnya adalah hewan. Besaran pajak dihitung berdasarkan jumlah hewan yang dijualbelikan. Pada skema lain, pajak juga bisa dihitung berdasarkan kandang atau wurugan/tarub.
Pajak perdagangan ini juga menyasar pedagang yang menjajakan dagangannya dengan cara dipikul. Dasar pengenaan pajaknya adalah jumlah barang yang dibawa/dipikul. Pajak dibayar dengan emas atau perak.
Di dalam pajak usaha, ada pula pajak usaha kerajinan yang secara spesifik dikenai atas produk-produk kerajinan atau kesenian. Produk kerajinan ini dihasilkan oleh seorang paure atau pengrajin. Profesi pengrajin ini terbagi dua, yakni pande sebagai pengrajin logam dan misra sebagai pengrajin barang nonlogam.
Biasanya, pajak yang terkumpul dari usaha kerajinan akan dialokasikan untuk pembangunan tempat ibadah atau bangunan suci. (sap)