Mahkamah Konstitusi.Â
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023, MK menyatakan frasa 'pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan' dalam Pasal 43A ayat (1) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak terdapat tindakan upaya paksa'.
"Sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU 7/2021 tentang HPP menjadi 'Dirjen pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa'," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan, Selasa (13/2/2024).
Pasal 43A ayat (4) UU KUP juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak melanggar hak asasi wajib pajak'.
Dengan demikian, norma Pasal 43 ayat (4) UU KUP selengkapnya berbunyi 'Tata cara pemeriksaan bukper tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan, sepanjang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan upaya paksa dan melanggar hak asasi wajib pajak'.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan pemeriksaan bukper memiliki kedudukan yang sama dengan penyelidikan. Dengan demikian, tidak boleh ada upaya paksa dalam pemeriksaan bukper.
Meski tujuan pemeriksaan bukper adalah untuk memaksa wajib pajak membayar pajak sesuai dengan kewajibannya, sifat memaksa tersebut tidak boleh berdampak terhadap terlanggarnya hak asasi seseorang.
Namun, MK justru menemukan adanya upaya paksa dalam pemeriksaan bukper sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP. "Maka hal tersebut jelas merupakan tindakan yang bertentangan dengan kepastian hukum yang adil," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor  83/PUU-XXI/2023.
Lebih lanjut, MK menyatakan peraturan menteri keuangan (PMK) yang diamanatkan oleh Pasal 43A ayat (4) UU KUP seharusnya tidak memuat ketentuan mengenai tindakan pro justitia.
"PMK tidak dapat mengatur ketentuan yang substansinya memberikan wewenang dalam penyelidikan yang mengandung sifat pemaksaan atau upaya paksa yang esensinya memuat norma hukum acara pidana yang seharusnya dimuat dalam undang-undang, bukan dalam PMK," ujar Enny.
Dengan demikian, PMK tata cara pemeriksaan bukper yang di dalamnya terdapat pembatasan hak dan kewajiban warga negara adalah tidak sejalan dengan esensi dan ruang lingkup pendelegasian yang diberikan oleh undang-undang.
Perlu dicatat, terdapat 3 hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan ini antara lain Daniel Yusmic P Foekh, Guntur Hamzah, dan Saldi Isra. (sap)