SALAH satu fungsi utama dari partai politik di negara demokrasi adalah mengagregasikan kepentingan-kepentingan yang disuarakan oleh publik.
Dalam menjalankan fungsi ini, partai politik menampung dan menggabungkan seluruh aspirasi publik dan merumuskannya dalam bentuk usulan program atau kebijakan yang teratur. Alhasil, program itu dapat mencerminkan kepentingan konstituen.
Usulan kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk platform partai yang nantinya diperjuangkan oleh para anggota parlemen dari partai bersangkutan hingga dapat diadopsi pemerintah sebagai kebijakan (Budiardjo, 2007).
Bila partai politik yang dimaksud memiliki anggota yang menjabat di lingkungan pemerintahan, partai bakal memiliki peran untuk terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan serta mengawasi dan mengevaluasi implementasinya.
Cara paling efektif untuk melaksanakan fungsi agregasi kepentingan dari partai politik adalah dengan mengekspresikan beragam kepentingan dimaksud lewat cara yang mudah dipahami oleh publik.
Dengan demikian, partai politik perlu menyiapkan individu yang mampu menjadi representasi pemilih dan memiliki kemampuan mengolah kepentingan pemilih guna memastikan kepentingan tersebut diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pemilu dipandang menjadi momen yang efektif bagi suatu partai dan calon pemimpin untuk dapat menyusun program-program yang sejalan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat.
Partai dan calon pemerintah yang mampu mengagregasikan kepentingan publik dan meramunya dalam rencana kebijakan yang mudah dipahami memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memenangkan pemilu.
Untuk itu, pengalaman di berbagai negara menunjukkan partai-partai dan calon kepala pemerintahan yang bertanding dalam pemilu selalu memublikasikan platform yang memerinci kebijakan-kebijakan yang dikehendaki oleh partai dan calon.
Dalam platform itu, partai-partai dan calon-calon kepala pemerintahan sering kali turut memerinci rencana kebijakan pajak sebagai bagian dari rencana kebijakan perekonomian dalam satu periode kepemimpinan.
Setelah pemilu selesai digelar, partai dengan suara terbanyak dan kepala pemerintahan yang terpilih bakal berusaha merealisasikan janji-janjinya pada masa kampanye melalui bargaining ataupun dengan membangun koalisi dengan partai lainnya (Powell, Dalton, Strøm, 2015).
Kemenangan Partai Konservatif dan Terpilihnya David Cameron pada Pemilu Inggris 2010
Sebelum terpilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada 2010, David Cameron telah menjabat sebagai Ketua Partai Konservatif dan berperan sebagai oposisi di parlemen Inggris sejak akhir 2005.
Kala itu, kebijakan ekonomi yang disuarakan oleh Partai Konservatif tidak sepenuhnya berfokus pada pemangkasan tarif pajak sebagaimana yang diusung oleh pimpinan Partai Konservatif pada era-era sebelumnya.
Aspirasi Partai Konservatif lebih berfokus stabilitas ekonomi. Peralihan fokus itu dilatarbelakangi oleh melemahnya perekonomian Inggris akibat hantaman krisis keuangan 2008. Pada 2008 dan 2009, PDB Inggris mengalami kontraksi masing-masing sebesar 0,15% dan 4,51%.
Kondisi perekonomian itu berdampak buruk terhadap elektabilitas Partai Buruh dan dikapitalisasi oleh Partai Konservatif di bawah kepemimpinan Cameron.
Memasuki masa kampanye pemilu 2010, barulah Partai Konservatif meluncurkan rencana kebijakan pajaknya dalam The Conservative Manifesto 2010.
Dalam manifesto tersebut, Partai Konservatif berjanji untuk memangkas tarif pajak korporasi dari 28% menjadi tinggal 25%.
Untuk usaha kecil, pajak korporasi dijanjikan turun dari 21% menjadi 20%. Penurunan tarif pajak korporasi ini ditargetkan mampu meningkatkan daya saing dan iklim berusaha di Inggris.
Selanjutnya, Partai Konservatif juga berencana menghapuskan fasilitas kredit pajak (child tax credit) untuk keluarga berpenghasilan tinggi, yakni rumah tangga dengan penghasilan di atas £50.000 per tahun.
Partai Konservatif juga menjanjikan fasilitas transferable tax allowance untuk wajib pajak yang sudah menikah. Dengan fasilitas tersebut, tax allowance yang tidak dimanfaatkan oleh pasangan yang tidak bekerja dapat dimanfaatkan oleh pasangan yang bekerja dan berpenghasilan.
Partai Konservatif juga berencana tidak menaikkan council tax selama 2 tahun. Adapun council tax adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah lokal.
Mengingat pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan melarang pemerintah lokal meningkatkan tarif council tax, Partai Konservatif berencana mengucurkan dana transfer kepada pemerintah lokal yang bersedia untuk tidak menaikkan council tax.
Pada masa kepemimpinan Cameron hingga 2016, sebagian besar kebijakan pajak yang direncanakan dalam manifesto tersebut mampu dipenuhi. Tarif pajak korporasi bagi perusahaan besar tidak hanya turun ke 25%, tetapi juga sampai dengan 20%.
Tak hanya itu, struktur tarif progresif pada ketentuan pajak korporasi Inggris juga dihapuskan. Dengan demikian, perusahaan besar dan usaha kecil sama-sama dibebani pajak korporasi sebesar 20%.
Janji untuk menerapkan fasilitas transferable tax allowance juga dipenuhi Cameron meski kebijakan tersebut baru diterapkan di ujung masa kepemimpinannya, yaitu pada 2015.
Namun demikian, penghapusan fasilitas child tax credit bagi rumah tangga dengan penghasilan di atas £50.000 justru tidak berhasil diterapkan oleh Cameron pada masa kepemimpinannya.
Moratorium kenaikan tarif council tax juga tidak dapat direalisasikan oleh Partai Konservatif dan Cameron mengingat mayoritas pemerintah lokal tetap menaikkan tarif council tax dan tidak bersedia menerima transfer dari pemerintah pusat.
Kemenangan Partai Republik dan Terpilihnya Donald Trump dalam Pemilu AS 2016
Berbeda dengan pemilu pada tahun-tahun sebelumnya, Pemilu Amerika Serikat pada 2016 diwarnai oleh sentimen proteksionisme.
Sejak berakhirnya Perang Dingin, AS selalu aktif mempromosikan perdagangan bebas. Alasannya, perdagangan bebas dinilai sebagai kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi dan bukanlah ancaman terhadap perekonomian domestik.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pew Research menjelang pengambilan suara pada Pemilu AS 2016, hanya 45% dari responden AS yang mendukung perdagangan bebas. Tahun-tahun sebelumnya, dukungan publik AS terhadap perdagangan bebas selalu berada di atas 50%.
Skeptisisme terhadap perdagangan bebas amat kentara terutama pada publik pemilih Partai Republik. Menurut survei Pew Research pada periode tersebut, hanya 36% pemilih Partai Republik yang mengaku mendukung perdagangan bebas.
Bila ditilik lebih lanjut, terdapat sebagian pemilih berhaluan kanan yang berpandangan penurunan penghasilan dan kesulitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh peran aktif AS dalam perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi.
Hal ini menyebabkan dukungan publik AS terhadap proteksionisme meningkat. Sentimen inilah yang berhasil dikapitalisasi Donald Trump pada masa kampanye dan dituangkan dalam rencana kebijakan pajaknya.
Menurut Partai Republik dan Trump, tarif pajak perlu diturunkan guna mendorong korporasi-korporasi AS mau menanamkan modalnya kembali ke dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja bagi kelas pekerja.
Pada masa kampanye, Trump berjanji untuk menurunkan tarif pajak korporasi dari 35% menjadi tinggal 15% saja. Selanjutnya, Trump juga berjanji untuk menghapuskan rezim alternative minimum tax (AMT) bagi korporasi.
Bagi wajib pajak orang pribadi, Trump berjanji mengurangi jumlah lapisan tarif PPh orang pribadi dari 7 lapis menjadi tinggal 3 lapis, yaitu 12%, 25%, dan 33%. Selain itu, standard deduction juga dijanjikan naik dari US$6.300 menjadi senilai US$15.000.
Ketika Trump menjabat, mayoritas agenda reformasi pajaknya dituangkan dalam Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) dan berlaku mulai Januari 2018. Dalam undang-undang itu, Trump harus berkompromi dan tidak bisa sepenuhnya memenuhi janji kampanyenya.
Melalui TCJA, tarif pajak disepakati turun dari 35% menjadi tinggal sebesar 21%, bukan 15% sebagaimana yang dijanjikan saat kampanye. Trump juga berhasil menghapuskan pengenaan AMT atas wajib pajak badan.
Sebagai gantinya, AS melalui TCJA memperkenalkan instrumen-instrumen lain guna membatasi pengurangan penghasilan kena pajak yakni earning stripping rule, membatasi adanya kompensasi kerugian, mencabut fasilitas biaya pengurang bagi sektor pabrikan domestik, dan merevisi mekanisme amortisasi dari aktivitas penelitian.
Guna mencegah praktik penghindaran pajak secara umum, TCJA juga memperkenalkan 3 ketentuan baru antara lain global intangible low tax income (GILTI), base erosion and anti-tax abuse (BEAT), dan foreign-derived intangible income (FDII).
Sejalan dengan narasi Trump saat kampanye, AS melalui FDII menawarkan tarif pajak yang lebih rendah atas laba yang diterima korporasi AS dari penggunaan intellectual property yang didaftarkan di AS, yakni hanya 13,12%.
FDII ditargetkan dapat mendorong perusahaan AS mendaftarkan intellectual property di AS dan membukukan laba terkait dengan penggunaan intellectual property tersebut di dalam negeri.
Terkait dengan jumlah lapisan tarif PPh orang pribadi, Trump tidak mampu memenuhi janjinya saat kampanye. Pada 2018, jumlah lapisan tarif dalam rezim PPh orang pribadi tetap sebanyak 7 lapis. Meski demikian, tarif pada lapisan tertinggi diturunkan dari 39,6% menjadi sebesar 37%.
Selain itu, standard deduction bagi wajib pajak yang belum kawin diputuskan naik dari US$6.500 menjadi senilai US$12.000. Bagi wajib pajak kawin, standard deduction diputuskan naik dari US$13.000 menjadi senilai US$24.000. (rig)