Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) masih melanjutkan reorganisasi unit vertikal. Sekarang, otoritas tengah mengevaluasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar (LTO) dan KPP Khusus. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (18/4/2023).
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan reorganisasi unit vertikal dijalankan agar mendapatkan model kantor yang efektif dan efisien untuk melakukan tugas serta fungsi DJP. Pada 2021, DJP juga sudah melakukan reorganisasi KPP Pratama dan KPP Madya.
“Saat ini kami sedang mengevaluasi untuk kantor pelayanan pajak dan kantor wilayah di LTO dan Khusus. [Evaluasi dilakukan] untuk mendefinisikan bagaimana modus operandi KPP LTO dan KPP Khusus betul-betul dapat bekerja untuk lebih efisien lagi,” ujar Suryo.
Seperti diketahui, dengan adanya reorganisasi instansi unit vertikal DJP pada 2021, sebanyak 24 KPP Pratama dihentikan operasinya dan bergabung ke 24 KPP Pratama lain. Lalu, sebanyak 9 unit kerja – berupa 1 Kanwil, 5 KPP Pratama, dan 3 KP2KP – berubah nama. Selain itu, ada 18 KPP Madya baru.
Selain mengenai evaluasi KPP LTO dan KPP Khusus, ada pula ulasan terkait dengan kinerja penerimaan pajak. Kemudian, ada juga bahasan mengenai rencana penambahan barang kena cukai (BKC) baru. Ada pula ulasan tentang insentif pajak untuk penempatan DHE SDA di dalam negeri.
Melalui PMK 184/2020, pemerintah memperjelas dan memerinci jenis KPP, terutama KPP Khusus dan KPP Madya. Beleid ini menyegmentasikan KPP menjadi 4, yaitu KPP Wajib Pajak Besar, KPP Khusus, KPP Madya, dan KPP Pratama. Simak ‘Ini Jumlah Kanwil, KPP, dan KP2KP Ditjen Pajak Sekarang’.
Pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp432,25 triliun pada kuartal I/2023. Capaian tersebut setara 25,16% dari target tahun ini senilai Rp1.718 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 33,78% (year on year/yoy). Menurutnya, penerimaan pajak terus menunjukkan kinerja positif sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional.
"Pajak kita tumbuh di atas baseline yang sudah meningkat tinggi pada tahun lalu. Ini hal yang sangat positif, dan kita akan jaga terus tentu kepercayaan masyarakat dan momentum pemulihan ekonomi," katanya. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan instrumen keuangan khusus untuk mendukung kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) di dalam negeri. Nantinya, kebijakan BI ini akan didukung oleh pemerintah lewat pemberian insentif pajak.
“Ini akan dikombinasikan dengan insentif pajak agar instrumen keuangan yang ada ini tetap menarik," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu. Simak juga ‘Disiapkan, Insentif Pajak Penempatan DHE SDA di Dalam Negeri’. (DDTCNews)
Pemerintah menyatakan terus mematangkan rencana ekstensifikasi barang kena cukai, termasuk minuman bergula dalam kemasan (MBDK).
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) akan kembali dituangkan dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2024.
"Tentunya amanat dari UU HPP, bahwa usulan dan penambahan cukai baru itu melalui mekanisme UU RAPBN. Untuk itu, nanti akan diawali dengan penyusunan KEM-PPKF tahun 2024," katanya. (DDTCNews)
DJP menegaskan bukti potong PPh Pasal 23 tetap harus dibuat meskipun jumlah pemotongan nihil karena adanya surat keterangan bebas (SKB).
Contact center DJP, Kring Pajak, memberikan penegasan tersebut setelah menerima pertanyaan dari warganet. Pertanyaan itu mengenai perlu atau tidaknya pembuatan bukti potong jika pemotongan PPh Pasal 23 nihil karena penyedia jasa (wajib pajak badan) mempunyai SKB.
“Dalam kasus tersebut, pemotong tetap menerbitkan bukti potong PPh Pasal 23 dan melaporkan SPT-nya di e-bupot unifikasi. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PER-24/PJ/2021,” tulis Kring Pajak. Simak pula ‘Ada SKB, PPh Pasal 23 Nihil? DJP: Bukti Potong Tetap Dibuat’. (DDTCNews) (kaw)