Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Belum lama ini, rencana pengenaan pajak atas laba ditahan (retained earnings) sempat hangat diperbincangkan karena menimbulkan polemik. Sayangnya, polemik yang muncul tidak diikuti dengan diskusi publik yang berbasis akademik.
Merespons kondisi tersebut, DDTC Fiscal Research menerbitkan ulasan berbasis akademis tentang pemajakan atas laba ditahan. Ulasan tersebut masuk dalam Indonesia Taxation Quarterly Report Q2-2019 bertajuk ‘Memperluas Basis Pajak melalui Objek Pajak Baru’. (Download laporannya di sini).
Selain warisan, pemajakan atas laba ditahan (retained earnings) juga memiliki justifikasi selain penerimaan negara. Pasalnya, penambahan objek pajak baru sebagai bagian dari perluasan basis pajak tidak selalu terkait dengan penerimaan.
Justifikasi pengenaan pajak atas retained earning adalah mendorong reinvestasi dan mencegah praktik penangguhan dividen. Munculnya wacana pajak ini tidak terlepas dari sistem klasikal yang diterapkan pemerintah dalam rezim corporate-shareholder taxation.
Melalui sistem tersebut, timbul economic double taxation akibat adanya pemajakan dua kali atas laba yang sama, yaitu di level korporasi (corporate level) dan di level pemegang saham (shareholder level).
“Sebagai konsekuensinya, sistem klasikal ini juga mendorong terbentuknya perilaku penghindaran pajak (tax avoidance),” demikian pernyataan DDTC Fiscal Research dalam laporan tersebut, seperti dikutip pada Jumat (30/8/2019).
Untuk menghindari pajak atas dividen, perusahaan memiliki insentif untuk menahan laba yang dimilikinya dari yang dibutuhkan untuk alasan bisnis dan investasi. Praktik ini tentu berisiko merugikan negara dari sisi pendapatan sehingga timbul wacana pemajakan atas retained earnings.
Secara global, berdasarkan data terkini yang diolah dari IBFD, terdapat 8 dari 178 negara yang memajaki retained earnings. Landasan yang menjadi motif pemajakan tersebut adalah mencegah praktik penghindaran pajak dan mendorong investasi perseroan.
Negara-negara tersebut adalah Ethiopia, Irlandia, Jepang, Korea Selatan, Panama, Arab Saudi, Taiwan, dan Amerika Serikat. Adapun setiap negara tersebut (kecuali Taiwan karena ketidaktersediaan data) sama-sama menerapkan sistem klasikal.
Di Amerika Serikat misalnya, ada dua jenis pajak terhadap retained earnings, yaitu Accumulated Earnings Tax (AET) dan Personal Holding Company Tax (PHC). Pemajakan atas retained earnings dianggap memberatkan oleh pengusaha tapi dianggap perlu oleh otoritas pajak Amerika Serikat
AET dikenakan atas penghasilan perseroan yang terakumulasi di luar kewajaran sesuai keperluan bisnis ketimbang dibagikan kepada para pemegang saham. Sementara, PHC adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan perusahaan perorangan yang tidak didistribusikan. Baik AET maupun PHC Tax memiliki tarif yang sama, yaitu 20%.
Pajak atas retained earnings perlu diterapkan selama terdapat perbedaan beban pajak antara penghasilan yang dipegang perseroan dan individu. Dengan demikian, insentif untuk melakukan penghindaran pajak dapat dicegah.
Seperti diketahui, Indonesia Taxation Quarterly Report diterbitkan rutin secara kuartalan oleh DDTC Fiscal Research. Dalam laporan tersebut, DDTC Fiscal Research selalu mengulas beberapa topik khusus terkait perpajakan. Perkembangan terkini dari kondisi fiskal juga selalu ada di tiap kuartalnya. (kaw)