SOFIA, DDTCNews - Perdana Menteri Bulgaria Rosen Zhelyazkov menegaskan tidak berencana menaikkan tarif pajak untuk mengendalikan defisit anggaran.
Zhelyazkov mengatakan pemerintah memang terus berupaya mengendalikan defisit anggaran yang terus melebar. Meski demikian, dia berjanji upaya penurunan defisit tersebut tidak dilakukan dengan cara menaikkan tarif pajak atau iuran jaminan sosial.
"Beban pajak dan jaminan sosial tidak akan naik," katanya, dikutip pada Rabu (3/9/2025).
Kepada wartawan, Zhelyazkov membantah rumor tentang kenaikan tarif PPN dan pajak lainnya pada tahun depan. Menurutnya, pemerintah akan menjaga agar beban yang ditanggung wajib pajak tidak meningkat.
Dia kemudian menjelaskan setiap kebijakan fiskal yang diambil pemerintah akan disampaikan secara terbuka kepada publik. Sementara jika pada akhirnya harus ada kenaikan tarif pajak, pemerintah bakal meminta pendapat publik dan persetujuan parlemen.
"Jika pemerintah bermaksud meningkatkan beban pajak dan jaminan sosial, hal itu akan disampaikan dengan jelas dan tegas melalui peraturan kabinet, komunikasi resmi, usulan kepada legislatif, dan akhirnya harus masuk dalam undang-undang APBN tahun depan," ujarnya dilansir bnr.bg.
Rumor kenaikan tarif pajak mencuat ketika realisasi defisit APBN 2025 sejauh ini telah melebar dari perkiraan pemerintah. Kemenkeu merilis data defisit APBN konsolidasi hingga Juli 2025 senilai BGN4,28 miliar atau setara 1,96% dari produk domestik bruto (PDB).
Angka ini melonjak jika dibandingkan dengan defisit APBN pada periode yang sama tahun lalu, yakni hanya BGN972,1 juta.
Merespons besarnya defisit APBN ini, ketua Dewan Fiskal sekaligus mantan menteri keuangan Simeon Dyankov menyarankan pemerintah agar mempertimbangkan kenaikan PPN dan beberapa pajak lainnya.
Menurutnya, pelebaran defisit akan menjadi masalah serius bagi Bulgaria. Dalam mengatasi persoalan tersebut, lanjutnya, kenaikan tarif pajak tertentu pada 2026 tidak dapat dihindari.
Sebagai jalan keluar termudah dari situasi ini, dia mengusulkan kenaikan tarif PPN menjadi 22%.
"Pajak ini berasal dari konsumsi, bukan produksi, sehingga kemungkinannya untuk mendistorsi ekonomi jauh lebih kecil. Tingkat kolektibilitasnya juga lebih dari 90%, serta lebih mudah dipungut," ucapnya dikutip bgnes.com.