BERITA PAJAK HARI INI

Terkait dengan Pemeriksaan Bukper, SPT Bisa Dianggap Tidak Disampaikan

Redaksi DDTCNews
Jumat, 20 Januari 2023 | 09.02 WIB
Terkait dengan Pemeriksaan Bukper, SPT Bisa Dianggap Tidak Disampaikan

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) bisa dianggap tidak disampaikan saat proses pemeriksaan bukti permulaan (bukper). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (20/1/2022).

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (4) PMK 177/2022, apabila SPT dan/atau pembetulan SPT disampaikan wajib pajak setelah surat pemberitahuan pemeriksaan bukper secara terbuka disampaikan, SPT tersebut dianggap tidak disampaikan.

“Pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka … didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan kepada orang pribadi atau badan,” bunyi penggalan Pasal 5 ayat (3).

Adapun pemeriksaan bukper adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan bukper dilakukan secara terbuka atau tertutup.

Selain mengenai penyampaian SPT saat pemeriksaan bukper, masih ada pula ulasan terkait dengan rencana revisi aturan terkait dengan devisa hasil ekspor (DHE). Kemudian, ada juga bahasan tentang proyeksi tambahan penerimaan dari solusi 2 pilar tantangan pajak akibat digitalisasi ekonomi.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Pemeriksaan Bukper Secara Tertutup

Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 24 ayat (5) PMK 177/2022, jika wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan bukper secara tertutup menyampaikan SPT dan/atau pembetulan SPT sejak surat perintah bukper diterima pemeriksa, pemeriksa dapat mempertimbangkannya dalam laporan pemeriksaan bukper.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) PMK 177/2022, pemeriksaan bukper secara tertutup dilakukan tidak dengan surat pemberitahuan pemeriksaan bukper kepada orang pribadi atau badan. Simak pula ‘Soal PMK 177/2022 Terkait Pemeriksaan Bukper, Ini Keterangan Resmi DJP’. (DDTCNews)

Pajak Lebih Rendah DHE

Bank Indonesia (BI) menyatakan terus berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian untuk membahas rencana revisi PP 1/2019 yang mengatur tentang DHE.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan BI bersama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan bakal memberikan beragam insentif yang makin menarik bagi eksportir dan perbankan.

Perry menuturkan otoritas moneter telah menerbitkan Peraturan BI Nomor 24/18/PBI/2022 yang memperluas instrumen penempatan dana yang berasal dari rekening khusus DHE SDA. Simak ‘PP Soal DHE Bakal Direvisi, BI Pastikan Insentifnya Makin Menarik’.

"Kami juga mengoordinasikan dengan Bu Menteri Keuangan [Sri Mulyani] karena DHE SDA yang masuk dalam rekening khusus ini juga mendapat insentif pajak berupa pajak yang lebih rendah," ujar Perry. (DDTCNews/Kontan)

Potensi Penerimaan Pajak dari Solusi 2 Pilar

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah memperbarui proyeksi tambahan penerimaan dari implementasi Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).

Menggunakan data 2021, Pilar 1 ditaksir memberikan tambahan penerimaan senilai US$13 miliar hingga US$36 miliar. Total penghasilan korporasi multinasional yang direalokasikan ke yurisdiksi pasar berdasarkan Pilar 1 mencapai US$200 miliar per tahun.

Dalam proyeksi OECD sebelumnya, tambahan penerimaan pajak dari implementasi Pilar 1 ditaksir US$5 miliar hingga US$12 miliar. Laba perusahaan multinasional yang direalokasikan ke yurisdiksi pasar kala itu diperkirakan senilai US$132 miliar. Simak pula ‘OECD Sebut Negara Berkembang Bakal Untung Lebih Besar dari Pilar 1’.

Terkait dengan Pilar 2, OECD memperkirakan tambahan penerimaan pajak dari penerapan pajak minimum global pada pilar tersebut mencapai US$220 miliar. Jumlah tersebut setara dengan 9% penerimaan PPh badan saat ini.

Dalam estimasi sebelumnya, OECD memperkirakan penerapan pajak minimum global berdasarkan Pilar 2 akan menghasilkan tambahan penerimaan pajak senilai US$150 miliar. Simak ‘OECD Naikkan Proyeksi Tambahan Penerimaan Pajak dari Dua Pilar’. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

Penyerahan Air Bersih yang Dibebaskan PPN

Dengan berlakunya PP 49/2022, PP 40/2015 s.t.d.d PP 58/2021 terkait dengan penyerahan air bersih yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Namun, masih seperti aturan sebelumnya, air bersih merupakan salah satu barang kena pajak (BKP) tertentu bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) PP 49/2022.

“Air bersih … terdiri atas air bersih yang belum siap untuk diminum dan/atau air bersih yang sudah siap untuk diminum (air minum), termasuk biaya sambung atau biaya pasang air bersih dan biaya beban tetap air bersih,” bunyi penggalan Pasal 8 ayat (1) PP 49/2022.

Secara substansi, ketentuan penyerahan air bersih yang dibebaskan dari pengenaan PPN dalam PP 55/2022 tidak berubah dari pengaturan sebelumnya dalam PP 49/2022. Perpajakan ID telah menyediakan fitur persandingan PP 49/2022 dengan aturan-aturan sebelumnya di sini. (DDTCNews)

Suku Bunga Acuan BI

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Januari 2023 memutuskan untuk kembali menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis points dari 5,5% menjadi 5,75%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan suku bunga Deposit Facility kini sebesar 5% dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,5%. Keputusan ini diambil setelah BI pada bulan lalu juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points.

"Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur ini merupakan langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking dalam memastikan terus berlanjutnya menurunkan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)

Ketentuan Keberatan dalam PP 50/2022

Ketentuan mengenai keberatan turut diatur dalam Pasal 31—Pasal 36 PP 50/2022. Dengan berlakunya PP 50/2022, PP 74/2011 serta Pasal 6 dan Pasal 9 PP 9/2021 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Simak ‘Begini Ketentuan Pengajuan Keberatan oleh Wajib Pajak dalam PP 50/2022’.

“Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan,” bunyi penggalan Pasal 31 ayat (1) PP 50/2022. (DDTCNews) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.