Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (foto: Twitter Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pengelolaan utang dilakukan dengan hati-hati (prudent).
Menurutnya, salah satu bukti pengelolaan utang telah dilakukan secara hati-hati adalah rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang masih cukup rendah. Klaim cukup rendah ini dilihat dari batas maksimum yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Keuangan Negara.
“Kebijakan pinjaman dilakukan secara hati-hati dengan rasio utang yang aman yaitu pada kisaran 30% dari PDB. Ini jauh di bawah batas maksimum dalam UU Keuangan Negara yaitu sebesar 60% terhadap PDB,” ujar Sri Mulyani dalam acara Penyerahan LKPP (Unaudited) dan Entry Meeting Pemeriksaan LKPP 2018 di Kantor BPK, Rabu (27/3/2019).
Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun lalu, lanjutnya, telah digunakan untuk pembiayaan kebutuhan prioritas, seperti pembangunan infrastruktur, pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, dan peningkatan manfaat jaminan sosial bagi masyarakat luas.
Dia pun mengingatkan bahwa APBN – yang berisi komponen pendapatan, belanja, dan pembiayaan – bukanlah tujuan akhir. APBN, sambungnya, merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bernegara, tak terkecuali untuk kesejahteraan masyarakat.
Di depan jajaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sri Mulyani memastikan bahwa pemerintah sudah, akan, dan terus mengelola APBN secara profesional dengan memegang prinisp bahwa APBN merupakan uang rakyat.
“Maka setiap rupiah yang dibelanjakan harus sebesar-besarnya membawa manfaat bagi rakyat Indonesia,” pungkasnya, seperti dikutip dari laman resmi Kemenkeu.
Seperti diketahui, realisasi defisit anggaran tahun lalu mencapai Rp259,9 triliun atau sekitar 1,76% dari PDB. Angka ini jauh dari patokan dalam APBN senilai Rp325,9 triliun atau sekitar 2,19% PDB. Selain itu, capaian 2018 lebih rendah dari tahun sebelumnya 2,51% PDB. (kaw)