Ilustrasi gedung Kemenkeu.
JAKARTA, DDTCNews – Kemenkeu berencana meningkatkan batasan nilai restitusi dipercepat pajak pertambahan nilai (PPN) dari yang berlaku saat ini Rp1 miliar menjadi Rp5 miliar. Rencana tersebut menjadi bahasan sejumlah media pada hari ini, Rabu (11/3/2020).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan peningkatan batasan nilai pengembalian pendahuluan PPN ini dilakukan untuk membantu arus kas dunia usaha yang tengah mendapat tekanan efek virus Corona.
“Corona membuat pergerakan orang berhenti sehingga pendapatan dan cash flow terganggu, padahal ini penting bagi dunia usaha. Kita ada ruang untuk menambah nominal restitusi dipercepat,” ujar Sri Mulyani.
Seperti diketahui, restitusi dipercepat merupakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan tanpa pemeriksaan, melainkan hanya dengan penelitian saja. Untuk itu, prosesnya relatif lebih cepat dibandingkaan dengan proses pemberian restitusi pada umumnya. Simak artikel ‘Mau Tahu Perbedaan Penelitian dan Pemeriksaan Pajak? Simak di Sini’.
Masih terkait dengan stimulus untuk merespons risiko efek virus Corona, sejumlah media juga menyoroti rencana pemerintah untuk meluncurkan kebijakan penundaan pembayaran pajak penghasilan (PPh) pasal 21 karyawan.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan kenaikan batas nominal restitusi dipercepat ini diberikan untuk membantu arus kas perusahaan. Terkait syarat pengajuan, sambungnya, tidak aka nada perubahan.
“Persyaratannya tidak berubah dari ketentuan saat ini karena restitusi memang hak wajib pajak, hanya dipercepat proses pengembaliannya,” kata Hestu.
Seperti diketahui, fasilitas restitusi dipercepat diberikan untuk tiga klasifikasi wajib pajak. Pertama, wajib pajak kriteria tertentu (wajib pajak patuh). Kedua, wajib pajak persyaratan tertentu. Ketiga, pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah. Simak Kamus ‘Apa Itu Restitusi Dipercepat?’. (Bisnis Indonesia/Kontan)
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan restitusi merupakan konsekuensi logis dari mekanisme pajak keluaran-pajak masukan dalam sistem PPN. Restitusi pajak pun merupakan hak dari para wajib pajak yang memang sebaiknya secepat mungkin diberikan oleh pemerintah.
Darussalam memandang wajar jika pemerintah berupaya melakukan relaksasi kebijakan dalam situasi saat ini. Dia menyarankan agar relaksasi batas maksimal restitusi diberlakukan secara umum untuk seluruh wajib pajak yang memenuhi ketentuan, bukan hanya sektor-sektor tertentu.
“Input dari sektor strategis yang membutuhkan stimulus bisa jadi berasal dari sektor lain. Akhirnya bisa jadi ada perlakuan pajak yang tidak setara dalam supply chain kalau relaksasi restitusi ini hanya berlaku untuk sektor tertentu,” katanya. (Kontan)
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat pemerintah juga tetap berhati-hati dalam mendesain relaksasi kebijakan pajak. Dia berharap Kemenkeu tetap menerapkan ketentuan profil kepatuhan wajib pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini untuk memastikan bahwa restitusi diberikan kepada wajib pajak yang memang layak dan patuh.
“Juga diberikan syarat dan ketentuan lain, misalnya ketersediaan arus kas dari percepatan restitusi ini dipergunakan untuk konsumsi lanjutan,” imbuhnya. (Kontan)
Kemenkeu juga sedang menimbang jangka waktu, cakupan, hingga skema relaksasi PPh 21, PPh 22, dan PPh 25 sebagai bagian dari stimulus untuk menjaga perekonomian dari efek virus Corona. Hal tersebut dinilai tidak mudah karena belum ada kepastian terkait akhir wabah virus Corona.
“Oleh karena ketidakpastian ini, kita harus hati-hati. Jangan sampai amunisi kita habis di depan sehingga ke belakang kita semakin kesulitan,” kata Sri Mulyani. (Bisnis Indonesia)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut proses penyusunan insentif berupa penundaan pembayaran pajak PPh Pasal 21 sudah mencapai 95%. Insentif ini menjadi bagian dari upaya untuk memitigasi risiko perekonomian dari efek wabah virus Corona.
Sri Mulyani mengatakan otoritas tinggal menentukan sektor usaha yang bisa menunda pembayaran PPh Pasal 21 untuk pegawai serta durasi pelaksanaannya. Setelah itu, dia akan segera mempresentasikan usulan insentif itu kepada Menko Perekonomian Airlangga dan Presiden Jokowi untuk meminta persetujuan.
“Tinggal 5% sisanya [proses penyusunan usulan insentif]. Soal keputusan timing dan harus dipresentasikan dulu," katanya. (DDTCNews)
Hingga 9 Maret 2020, DJP telah menerima 6,27 juta surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Capaian itu naik 34% dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya 4,73 SPT. Otoritas berharap para wajib pajak lainnya bisa segera menyusul membayar pajak dan melaporkan SPT tahunannya.
“Ini indikasi yang sangat bagus. Saya sebagai Menteri Keuangan, bendahara negara, menyampaikan terima kasih kepada 6,2 juta wajib pajak orang pribadi yang sudah menyerahkan SPT dan membayar pajak,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Kontan/DDTCNews)
DJP merilis beleid yang memerinci enam jenis transaksi yang memerlukan penilaian atau serangkaian kegiatan yang dilakukan DJP guna menentukan nilai tertentu atas objek penilaian.
Perincian transaksi yang memerlukan penilaian itu dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No.SE-05/PJ/2020 tentang Prosedur Pelaksanaan Penilaian untuk Tujuan Perpajakan. Penilaian dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar penilaian dalam rangka melaksanakan ketentuan, termasuk analisis kewajaran usaha. (DDTCNews) (kaw)